sponsor

sponsor

Slider

LINTAS NANGGROE

LINTAS ACEH SELATAN

INFO GURU DAN CPNS

Pasang Iklan Murah Hanya Disini !

INFO PENDIDIKAN

LINTAS ARENA

R A G A M

INFO KAMPUS

Gallery

Pendidikan, Membangun “Asset” Untuk Masa Depan

By: Redaksi KluetMedia on Kamis, Juni 05, 2014 / comment : 0 ,

MENGINGAT pentingnya pendidikan, para pelajar dan mahasiswa dari Kluet harus berjuang keras menempuh jarak yang jauh untuk menggapainya. Generasi “dulu” yang berasal dari Kluet, pernah merasakan pengalaman pahit getirnya memperoleh pendidikan.

Minim sarana dan minim tunjungan hidup, namun mereka tetap tegar. Ada yang gugur dan pulang. Tetapi ada yang bertahan hingga menamatkan pendidikan, walau dalam keadaan tertatih, baik dari segi ekonomi (biaya hidup) dan fasilitas (tempat tinggal yang layak).

Itulah potret dari kebanyakan anak muda dari wilayah ini dahalu, periode 1970 dan 1980 an. Hasilnya bisa kita lihat hari. Mereka yang pernah berjuang memperoleh pendidikan pada masa tempo dulu, telah menjadi orang-orang yang punya kapasitas dan mengisi posisi yang penting di dalam tatanan masyarakat.

Sektor pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Pendidikan itu membawa arah perubahan lebih baik dalam masyarakat. Pendidikan adalah embrio pembanguan masyarakat madani, untuk sekarang dan di masa depan. Karena pendidikan adalah cara menabung dan membanguan asset di masa depan dari segi sumber daya manusia.

Hari ini konteks pendidikan di Aceh Selatan berbeda dengan dahulu. Konteks pendidikan di Aceh selatan hari ini adalah tentang “peningkatan mutu”. Untuk itu, kita titipkan pesan kepada sembilan orang Dewan terpilih kita dari Dapil Kluet, untuk membangun sektor pendidikan di Aceh Selatan, khususnya yang juga bisa bermamfaat pada daerah Kluet.

Salah satu langkah yang layak dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Aceh Selatan. DPRK bisa saja beinisitif menyusun sebuah perda tentang pelaksanaan pendidikan, yang intinya ikut mengakomodir peran lembaga pendidikan swasta dalam pengelolaan pendidikan di daerah ini. Serta lembaga pendidikan yang berada di daerah terpencil. 

Selain itu, upaya yang bisa dilakukan DPRK  dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah memperjuangkan peningkatan anggaran pendidikan yang lebih baik dalam APBD. Juga termasuk meningkat pengawasan dalam pelaksanaannya.

Kualitas pendidikan yang merata di Aceh selatan bisa di dorong di DPRK melalui perda. Ini berkaitan dalam hal peningkatan pelayanan publik dalam bidang pendidikan. Kita menitipkan peran kepada dewan terpilih untuk memperhatikan mutu lembaga pendidikan swasta dan lembaga pendidikan di daerah terpencil.

Terutama dari peningkatan kualitas sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan, sehinga sekolah swasta tidak melulu selalu harus  tertinggal dari sekolah-sekolah negeri yang ada pusat kota kabupaten maupun kecamatan. Padahal peran mereka adalah sama, yakni mencerdaskan anak daerah.

Kondisi sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai, minimnya tenaga pendidikan sesuai klasifikasi, hingga penyebaran tenaga pendidik yang tidak merata di Aceh Selatan patut menjadi perhatian. Untuk Aceh Selatan yang lebih baik di sektor pendidikan dan merata dari segi kualitas dan kuantitas.

Kita berharap, kedepan pengelolaan pendidikan di Aceh Selatan bisa mengatasi persoalan yang tidak menonjolkan perbedaan atau dikotomi antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Termasuk antara sekolah di kota dan sekolah-sekolah yang berada di pelosok.

Tentu visi akan menjadi kendala jika tidak anggota dewan yang punya visi dan komitment dalam hal ini. Kita berharap anggota dewan terpilih Untuk DPRK Aceh Selatan periode 2014 – 2019. Khusus dari dapil kluet bisa membawa isu pendidikan menjadi prioritas yang bisa diperjuangkan di legistatif. Karena pendidikan adalah cara investasi asset dimasa depan, demi Kluet yang lebih baik dan manusia Aceh Selatan yang berkualitas.

Jika kita adalah orang yang peduli pendidikan di Aceh Selatan. Mari kawal kinerja dewan yang kita pilih untuk mewakili kita di DPRK. Agar memberikan peran untuk peningkatan mutu di Aceh Selatan melalui panggung legislatif selama lima tahun kedepan. Karena suara kita adalah suara rakyat yang menghantarkan mereka mereka duduk di kursi terhormat. Suara rakyat adalah aspirasi.[]
Redaksi

Menunggu Peran Dewan Terpilih

By: Redaksi KluetMedia on Senin, Juni 02, 2014 / comment : 0 ,

SEPERTI kita ketahui sembilan dewan terpilih pemillu kali ini, mewakili Daerah Pemilihan (dapil) kluet di DRPK Aceh Selatan selama lima tahun kedepan. Sebagian besarnya adalah wajah baru. Wajah baru, tentu menjadi harapan bagi Aceh Selatan, khususnya Kluet Raya untuk lima tahun kedepan.

Tugas anggota DPRK adalah bersama dengan eksekutif membuat peraturan daerah, membuat anggaran pembangunan daerah dan melakukan pengawasan terhadap pembangunan. Ketiga tugas anggota DPRD yang memiliki peran sangat signifikan dalam menentukan pembangunan fisik dan sosial di masyarakat serta kemajuan daerah ini belum cukup. 

Juga harus ditopang dengan kemampuan untuk menduduki jabatan tersebut. Kemampuan intelektual,  kemampuan komunikasi dan mengerti perasaan dan kebutuhan daerah ini. Kita tentunya berharap semua dewan terpilih, khususnya yang berasal dari dapil Kluet Raya mempunyai kemampuan ini.

Semua pasti bisa mengerti bahwa anggota DPRD terdahulu mewakili daerah ini telah mematuhi ketiga fungsi tersebut. Namun yang terlihat ternyata hal itu belum cukup memberikan kontribusi yang signifikan bagi proses percepatan pembangunan di Kabupaten Aceh Selatan, khususnya bagi Kluet Raya, baik pembangunan fisik maupun pembangunan sosial. 

Tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, tetapi hal ini bisa saja terjadi karena kurangnya pemahaman dan komitmen yang kuat dalam menjalankan tugas dan fungsi DPRK. Sehingga ada poin strategis yang menunjang bagi pembangunan daerah tidak didorong untuk didayagunakan untuk kepentingan rakyat.

Harus dimengerti bahwa DRPK bukanlah agen proyek pemerintah bagi koleganya. Idealnya, anggota DPRK yang mewakili rakyat adalah orang-orang mempunyai kecakapan (pendidikan) dan pemahaman yang baik dalam menjalani tugas dan fungsi DPRK. Berkarakter dan mempunyai komitmen yang kuat bagi kepentingan rakyat banyak, bukan mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan. 

Memang sulit yang mencari yang ideal, tetapi setidaknya ada sesuatu pondasi besar yang mereka letakkan untuk masyarakat, untuk jangka waktu lima tahun kedepan. Seperti perbaikan irigasi dan membenahi sistem menajemennya, agar supplay air lancar, tidak tersendat seperti sekarang ini. Pembangunan jalan desa yang memang sebagiannya tidak layak. Kesehatan, Pendidikan, beasiswa anak miskin dan yatim piatu dan lain-lain. Demi Kluet Raya yang lebih baik.

Selain itu. Ada beberapa isu strategis yang bisa disampaikan bagi pembangunan Aceh Selatan kedepan yang bisa diperjuangkan di DPRK. Diantaranya. Dalam draf Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Aceh Selatan tahun 2013 -2018, disebutkan bahwa pemberantasan Kolusi- Korupsi – Nepotisme (KKN) dan Reformasi Birokrasi, serta lemahnya pengawasan terhadap kinerja Instansi Pemerintah, masih menjadi isu utama permasalahan pembangunan di Aceh Selatan saat ini. 

Rendahnya profesionalisme birokrasi untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih dalam melakukan pelayanan publik, Merupakan “PR” yang harus didorong untuk dipecahkan bagi anggota DPRK periode selanjutnya.

Dari segi sumber daya alam. Kabupaten Aceh Selatan mempunyai potensi ekonomi yang belum dimamfaatkan secara maksimal, terutama potensi laut dan pantai, ekowisata dan hasil hutan bukan kayu. Potensi-potensi ini diperkirakan dapat membantu menunjang pembangunan Aceh Selatan di masa mendatang. Semua potensi itu, ada di Kluet Raya. Menunggu untuk dikembangkan.

Untuk keperluan saat ini, Apakah pemerintah kita sudah membuat “study Inventory” untuk mengetahui berapa besar potensi dan bagaimana sistem pemamfaatannya? 

Untuk mendorong dan dalam menjalani peran ini, selayaknya anggota DPRK yang terpilih haruslah memiliki kecapakan, jaringan luas, dekat dengan rakyat, memahami kemauan rakyat dan mengerti kebutuhan rakyat. Supaya hasil Tugas dan Fungsi DPRK yang bisa diberikan kepada rakyat bisa memenuhi harapan rakyat. Bukan menghidupi diri sendiri dan menumpuk kekayaan.

Salam Redaksi

Pemilu Serempak Dikaji Dari Keuntungannya

By: Redaksi KluetMedia on Sabtu, Januari 25, 2014 / comment : 0

KLUETMEDIA | JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (23/01) lalu telah mengabulkan pelaksanaan Pemilu serempak yang akan diterapkan pada 2019 mendatang dan pemilu seterusnya. Dengan kata lain, keputusan ini sekaligus mendukung penyelenggaraan pemilu serempak yang dianggap sesuai dengan amanat UUD 1945.

Dibalik Pro dan Kontra yang terjadi di berbagai kalangan, pelaksanaan pemilihan umum secara serentak memiliki sejumlah keuntungan. Salah satunya adalah tidak ada lagi politisi kutu loncat. 

Hal ini berdasarkan kajian bahwa dengan pelaksanaan pemilu secara serempak, maka politisi kutu loncat tidak akan bisa mengajukan diri di daerah lainnya. Sebab, masa jabatan di daerah asal belum berakhir. Dengan adanya pemilu serentak juga terjadi kestabilan pemerintahan.

Keuntungan lain dengan dilaksanakannya pemilu secara serempak adalah adanya penghematan biaya. Misalnya penghematan bisa dilakukan pada surat-surat, logistik dan desain pemilu sekaligus mengurangi rekrutmen relawan, honor, pelatihan dan modul. (de)

Bagaimana menurut anda? 

Selamat datang 2014, Selamat Datang Tahun Pemilu

By: Redaksi KluetMedia on Rabu, Januari 01, 2014 / comment : 0

KLUETMEDIA | Jakarta - Selamat datang tahun 2014, selamat datang tahun pemilu. Memasuki tahun baru 2014 negara ini akan disambut oleh berbagai persiapan pesta demokrasi yang diselenggarakan lima tahun sekali untuk menentukan wakil rakyat dan presiden.

Pada 9 April 2014 Pemilu Leislatif akan diselenggarakan dan pada 23 Juli 2014 Pemilu Presiden juga diselenggarakan. Ini menjadi momen paling menentukan siapa yang akan memimpin Bangsa Indonesia pasca lengsernya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari kursi kekuasaannya selama dua periode pemerintahan berturut.

Pemilu 2014 merupakan pemilu penuh makna bagi proses konsolidasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu harus mampu mengemban amanat rakyat menyukseskan pemilu yang jujur dan adil.

KPU harus mampu membangun kepercayaan publik terhadap hasil Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden. Tahapan pemilu yang kerap tertunda, dinilainya sebagai bukti KPU kurang dipercaya masyarakat dalam menyelenggarakan pesta demokrasi yang akan menentukan nasib bangsa ini selama lima tahun ke depan.

Tertundanya tahapan pemilu salah satunya dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan aturan dana kampanye parpol dan calon anggota legislatif, menurutnya akan membuat pemilu dipandang tidak kompeten dalam menentukan nasib bangsa.

Sebaliknya dengan kontestan pemilu diharapkan menjadi pemimpin yang amanah bagi rakyat dalam lima tahun ke depan. Parpol diharapkan menjadi penyedia pemimpin yang berkualitas, amanah. Bukan petualang politik atau politikus busuk.

Selamat berkompetisi untuk menjadi yang terbaik demi masyarakat. [sin/de]

Guru Masih Terbelit Persoalan

By: Redaksi KluetMedia on Selasa, November 12, 2013 / comment : 0

Ilustrasi gambar
KLUETMEDIA | EDITORIAL - Berbagai persoalan masih membelit guru, baik guru honorer, PNS dan guru bersertifikasi, meskipun reformasi sudah berjalan 15 tahun di negeri ini. Guru honorer misalnya masih saja terbelit dalam ketidakpastian nasib. Apabila dibandingkan dengan nasib guru PNS dan sudah mengikuti sertifikasi, nasib guru honorer sungguh memprihatinkan.

Lebih miris lagi, kesejahteraan guru honorer pun masih kalah jauh bila dibandingkan dengan gaji seorang buruh kasar. Bahkan masih ada guru honorer yang gajinya tidak lebih dari Rp 500 ribu per bulan. Termasuk, pembayaran honor itu pun tidak tepat waktu. Alasan keterlambatan yang sangat lumrah sekarang adalah menunggu cairnya dana biaya operasional sekolah (BOS).

Dari segi kuantitas, jumlah guru honorer di Indonesia saat ini tidaklah sedikit. Guru yang bernaung dibawah madrasah dengan segala tingkatan, misalnya mencapai 650.809 guru, dan 80 persen di antaranya berstatus non PNS (Republika, Jumat, 3 Mei 2013). Beban tugas seorang guru honorer pun tidak jauh berbeda dengan guru PNS. Namun, soal kesejahteraan, fasilitas yang dimiliki jangan dibandingkan ataupun dipertanyakan, kalah jauh. Di beberapa daerah tidak sedikit pula mereka terpaksa harus turun ke jalan menjadi tukang ojek memperjuangkan nasibnya untuk memenuhi kebutuhan dapur.

Namun, perhatian terhadap mereka kurang memadai. Ada guru honorer yang telah mengabdi belasan tahun tetapi tidak diperhatian untuk menjadi PNS. Kepada siapakah mereka harus mengadukan nasibnya, padahal masalah itu sudah menjadi rahasia umum. Sementara mereka yang cerdik, pintar menjilat dan dekat dengan kekuasaan akan meraup keuntungan. Namun, mereka yang polos-polos saja, terabaikan. Meski sudah belasan tahun mengajar, nasib guru honorer di "belantara" era otonomi dan belenggu kekuasaan ini, masih saja terpuruk. Hal ini semakin menguatkan bahwa guru honorer memang "seorang pejuang tanpa tanda jasa."

Setali tiga uang nasib guru PNS dan guru bersertifikasi pun hampir sama meskipun mereka ini diuntungkan karena sudah menjadi PNS dan menyandang sertifikasi. Satu hal yang hampir selalu dialaminya adalah, keterlambatan pembayaran dan ketidakpastian pembayaran sudah lumrah dialami oleh guru PNS dan guru bersertifikasi. Jika pada tahun sebelumnya sertifikasi dikelola di daerah sering sekali mengalami keterlambatan pembayaran, maka pada tahun 2013 ini pengelolaannya diambil alih oleh pusat.

Itu pun diduga tidak akan jauh berbeda, dihantui keterlambatan penerimaan honor sertifikasit. Bahkan di antaranya mereka terbersit kecemasan dan kecemaasan itu semakin meningkat karena sertifikasi mereka ada yang diterima sebagian dan ada pula yang dipotong. Alasan yang muncul, karena data yang telah mereka isi dan kirimkan dari daerah secara online ternyata tidak dapat diverifikasi di Kemdikbud. Saling tuding pun tak dapat dihindarkan, namun ketiban sialnya tetap guru.

Kemdikbud menyalahkan guru, sementara guru sertifikasi telah merasa yakin dengan pemenuhan persyaratan yang diminta. Usut punya usut, rupa-rupanya UKG online yang tahun lalu bermasalah belum bisa juga diatasi dan hal itu tidak dijadikan pembelajaran bagi Kemdikbud. Lagi-lagi teknologi menjadi penyebabnya. Guru yang seharusnya menerima tunjangan sertifikasi harus menerima pil pahit. Mereka tidak mempunyai SK untuk dibayarkan tunjangan sertifikasinya. Mereka inipun akhirnya resah dan panik.

Padahal, lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang di dalamnya memuat usaha untuk menata dan memperbaiki mutu guru Indonesia. Namun, pemberian tunjangan sertifikasi sebagaimana amanah dari UU seringkali mengalami permasalahan. Sejak dari berbelit-belitnya sistem birokrasi, terjadinya penundaan pencairannya dan yang saat ini verifikasi yang mengalami kendala.

Pun pada tahun ini mengenai srtifikasi itu persyaratannya di tambah. Jika pada tahun sebelumnya guru yang mengambil jam tambahan di sekolah yang tidak sama jenjangnya dan mengajar bukan pada bidang studi yang relevan masih diakui, maka pada tahun ini hal itu tidak berlaku. Sehingga, menimbulkan masalah baru lagi bagi guru yang sudah sertifikasi. Mereka dinyatakan tidak memiliki jam mengajar yang cukup di sekolahnya.

Kemudian, kisruh pengelolaan pembayaran tunjangan sertifikasi bagi guru akan berpengaruh terhadap motivasi dan kinerja mereka. Seperti disebutkan oleh berbagai pakar bahwa peningkatan kinerja seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal bersumber pada diri individu guru itu sendiri, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar. Tunjangan sertifikasi merupakan salah satu contoh faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja guru. Apabila penyalurannya sarat masalah, ini akan berdamapak pada semangat guru dalam mengajar dan menjalakan tugasnya.

Melihat nasib guru honorer maupun guru PNS, masih belum terkelola dengan baik. Sudah saatnya Kemdikbud mengevaluasi dan memberikan solusi yang memihak kepada para guru tersebut. Untuk guru honorer jangan biarkan mereka berkubang dalam penderitaan. Kemudian para guru honorer yang telah belasan tahun mengabdi tidak boleh luput dari pendataan. Keadilan harus berlaku untuk semua dan nurani kejujuran haruslah diutamakan dalam mengelola mereka.

Terakhir harapannya, pengelolaan tunjangan sertifikasi harus sesuai dengan harapan para guru, agar kualitas pendidikan semakin baik. Sebagaimana tujuan diberikannya tunjangan sertifikasi yang diamanahkan UU yaitu, menata dan memperbaiki mutu guru yang berujung pada peningkatan kualitas pendidikan. ***


Oleh: ARBA'I
Penulis adalah Guru SMPN 1 Kluet Timur 
Aceh Selatan
Mahasiswa penerima beasiswa S2 Kemendiknas di MM UGM, Yogyakarta.

*Pernah dimuat di Suara Karya

Indonesia Pantas Juara!

By: Redaksi KluetMedia on Senin, September 23, 2013 / comment : 0

Evan Dimas Cs, masa depan sepakbola Indonesia
KLUETMEDIA | BOLA - Perhelatan laga puncak turnamen AFF U-19 di stadion Delta Sidoarjo tadi malam berlangsung seru. Garuda Muda yang berhadapan dengan Vietnam telah menampilkan permainan cepat dan menghibur. Sungguh laga yang sangat menarik sekaligus menegangkan.

Ya sungguh luar biasa timnas U-19 merebut piala AFF U-19 Championship. Garuda muda menundukan Vietnam lewat drama adu pinalti dengan skor 7-6 di stadion Gelora Delta Sidoarjo. Sebuah kemenangan yang begitu berarti setelah 22 tahun Indonesia tidak pernah menjadi juara sepakbola internasional.

Kemenangan ini memupuskan momok adu pinalti yang selama ini menghantui timnas kita setiap berada di final. Dua kali Indonesia harus menyerah secara tragis lewat adu pinalti. Tetapi malam ini secara heroik anak-anak muda Indonesia telah membuktikan bahwa Indonesia bisa membunuh momok yang menakutkan itu.

Tidak ada yang bisa melukiskan kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia yang selama ini sepertinya sudah putus asa dengan prestasi sepakbola. Dahaga akan sebuah gelar juara akhirnya didapatkan lewat perjuangan tanpa kenal lelah dari putra-putra terbaik bangsa. Timnas yang belum terkontaminasi segala intrik dan politik yang selalu menunggangi keutuhan timnas.

Piala AFF bagi Timnas U-19
Era kemenangan sepakbola Indonesia sudah dimulai, tinggal PSSI selaku organisasi yang bertanggungjawab mengurus persepakbolaan tanah air untuk terus berbenah. PSSI harus terus menciptakan bibit-bibit muda dan menjaga mereka sebagai pemain masa depan Indonesia. Ada ribuan bibit muda berpotensi yang akan menjadi modal bagi kemajuan persepakbolaan Indonesia di masa depan.

Bolehlah sejenak kita berpesta atas kemenangan ini. Tetapi euforia ini tidak boleh melenakan kita. Negara lain juga akan terus memperbaiki diri. Kekuatan sepakbola asia tenggara tidak hanya milik Indonesia, Malaysia,Thailand, dan Vietnam saja. Masih ada Myanmar, Laos, dan Timor Leste yang menunjukan perkembangan yang signifikan. Australia yang baru bergabung dengan konfederasi AFF pun akan menjadi lawan tangguh yang bisa menjadi sandungan bagi Indonesia di masa depan.

Terakhir, sudah layak dan pantas Indonesia berterima kasih pada timnas U-19 yang tidak kenal lelah berusaha memberikan yang terbaik bagi Indonesia. Jalan masih panjang, PSSI harus punya visi yang jelas agar timnas bisa berbicara lebih tinggi seperti level asia. Dengan skill dan kekompakan yang dimiliki oleh tim ini kita harus yakin bahwa Indonesia akan bisa melangkah lebih jauh lagi.

Terima kasih kepada Evan Dimas, Ravi, Maldini dan kawan-kawan yang telah memberikan hadiah terindah untuk rakyat Indonesia. Nama kalian akan dicatat oleh sejarah sebagai pahlawan-pahlawan baru lapangan hijau Indonesia. (V E Prihantoro)

INSOSDES dan Elemen Sipil Sesalkan Pertemuan Pemda - PT. PSU di Medan

By: Redaksi KluetMedia on Senin, Juli 15, 2013 / comment : 0

PT. PSU melalui suratnya mengundang Pemda Aceh Selatan untuk mengadakan pertemuan di suatu tempat di medan, Sumatera Utara. Kabar ini tentu saja sangat mengejutkan karena pertemuan itu menyangkut kebijakan strategis daerah.

Tim evaluasi Pemda Aceh Selatan yang di pimpin Sekda beserta Kadis Pertambangan, Kadis Perhubungan, Asisten II, dan beberapa orang anggota DPRK hingga saat ini belum mengklarifikasi hasil dari pertemuan tersebut, namun yang jelas ini sudah mengindikasikan hal yang tidak wajar. 

Sudah rahasia umum bahwa PT.PSU itu sarat dengan masalah dan harus di evaluasi, mulai dari sewa lahan, tunggakan pajak, MoU dengan Pemda menyangkut kewajiban yang harus di bayar ke KAS daerah, regulasi kajian study AMDAL, dll. 

Pertanyaannya adalah, bila memang hasil evaluasi itu sudah ada mengapa tidak di umumkan ke publik?.
Sehingga dari hal tersebut, kami mensinyalir ada pihak-pihak dari eksekutif dan legislatif  yang berupaya untuk memuluskan legalitas izin operasional PT.PSU untuk kembali mengeruk hasil tambang di aceh selatan.
 
Konyol nya lagi, dengan dalih bahwa salah satu Pimpinan PT. PSU sedang sakit di Medan sehingga pertemuan antara Pemda Aceh Selatan dan PT. PSU 'harus' dilakukan di  provinsi tetangga tersebut. Atas dasar itulah, Laskar Pemda rame-rame safari ke medan. Hal ini tentu saja menimbulkan konotasi negatif,
seakan - akan Pemda Aceh Selatan bisa diatur oleh sebuah perusahaan swasta yang notabene masih mempunyai masalah di Aceh Selatan. Apalagi terbetik kabar bahwa semua operasional, komsumsi serta akomodasi dari pertemuan tersebut ditanggung oleh Manajemen PT. PSU dan hal ini jelas terindikasi sebuah praktek gratifikasi.

Kami juga mengingatkan Bupati agar jangan terjebak dengan permainan orang-orang lama yang kemungkinan sengaja ingin menjatuhkan citra kepemimpinan pemerintah SAKA, apalagi dinas terkait yaitu dinas pertambangan saat ini dipimpin oleh figur yang tidak ahli di bidangnya.

Sekedar mengingatkan, persoalan tambang adalah kebijakan strategis daerah, mengapa harus dibahas di luar daerah dengan alasan karena salah satu pimpinan PT. PSU sedang sakit atau baru sembuh. Sebaiknya Pemda Aceh Selatan bisa menjadwalkan kembali pertemuan tersebut di Aceh Selatan sehingga tidak terjadi penafsiran yang negatif didalam masyarakat.

Meskipun dalam pertemuan itu belum menghasilkan kesepakatan yang permanen, tapi kami selaku elemen sipil akan terus mengawai dan tetap mengkritisi setiap kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat.

Pada sisi lain, kami menyesalkan adanya kabar dari salah seorang anggota DPRK yang mengatakan bahwa MoU Golden Share sudah disepakati pada saat transisi Plh Bupati Aceh Selatan yang saat itu dijabat oleh Drs. Harmaini. Menurut kami tindakan tersebut jelas salah, sebab kebijakan strategis tidak boleh diambil oleh pelaksana harian sementara (Plh) sementara pada waktu itu Bupati yang terpilih sudah ada.

Untuk itu, kami lebih setuju apabila tambang tersebut dikelola oleh masyarakat sekitar dengan memperhatikan aspek-aspek kearifan lokal lingkungan setempat. Sudah jadi kewajiban moral bagi kita untuk mengkritisi dan mengawal setiap kebijakan publik supaya Pemda tetap berada di jalur yang benar, Itulah salah satu bentuk dukungan kami kapada Pemerindah Daerah Aceh Selatan dan juga masyarakat secara umum.

Siska Elviadi Rajo Evi
Deputi Kebijakan Publik Institute Study of Social Development Strategy (INSOSDES)

Pray For Gayo

By: Redaksi KluetMedia on Kamis, Juli 04, 2013 / comment : 0

PERISTIWA gempa bumi berkekuatan 6,2 SR yang menguncang Gayo, khususnya Aceh Tengah dan Bener Meriah, menjadi catatan duka bagi negeri berhawa sejuk tersebut. Duka Gayo ini juga membuat Pemerintah Aceh menjadikan kondisi daerah ini menjadi Aceh Darurat Kemanusia.

Darurat kemanusian, artinya semua pihak (tanpa ada kecuali), elemen, lembaga, pemerintah dan kalangan swasta wajib memperhatikan dan mencurahkan perhatiannya ke Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Hingga saat ini korban jiwa akibat musibah ini sedikitnya sudah mencapai lebih dari 42 orang, puluhan lainnya masih tertimbun reruntuhan, terdapat pula masyarakat yang luka-luka baik berat maupun ringan, serta ribuan bangunan baik sarana pemerintah, swasta, pendidikan dan rumah ibadah (masjid) dilaporkan mengalami kerusakan yang teramat serius.

Ini tampaknya gempa tektonik terdahsyat dalam beberapa dekcade terakhir ini di dataran tinggi Gayo. Karenanya, curahan perhatian perlu diberikan untuk daerah ini, sehingga bisa kembali pulih seperti sediakala.

Bahkan kita berharap, suatu saat nanti, kondisi di dua daerah ini pembangunannya lebih pesat lagi, layaknya kawasan pesisir Aceh pascagempa dan tsunami yang melanda 26 Desember 2004 silam.

Luka Gayo adalah duka Indonesia. “Negeri dari sekeping tanah di surga” kini sangat butuh perhatian serius dari pemerintah baik daerah, provinsi maupun pusat. Karena (sekali lagi) luka Gayo adalah duka nusantara. ***
Catatan Aman Zaiza

Penjual Bensin Eceran Ditengah Kelangkaan BBM

By: Redaksi KluetMedia on Rabu, Juli 03, 2013 / comment : 0

OPINI - Bensin Habis !!! Begitulah yang biasa tertulis di papan ajaib milik SPBU di Kabupaten-Kabupaten se Indonesia termasuk Kabupaten Aceh Selatan khususnya di SPBU Geulumbuk Kecamatan Kluet Selatan. 

Fakta lain, pedagang bensin eceran menjamur disekitar SPBU dan tidak mengalami kehabisan bensin. Ini suatu paradox yang menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat. Apa benar terjadi kelangkaan bensin atau kelangkaan semu semata? 

Secara teoritis kelangkaan bensin mengakibatkan harga bensin meningkat, dimana konsumen tidak merasa keberatan membayar sedikit lebih mahal untuk memperoleh bensin tersebut. Dengan realita diatas, tidak salah apabila disimpulkan bahwa kelangkaan ini bukan kelangkaan alami melainkan kelangkaan semu yang sengaja direkayasa agar mendapat profit yang lebih tinggi.

Kelangkaan semu disinyalir  terjadi karena ada kongkalikong antara oknum SPBU dengan pedagang eceran disekitarnya. Bagaimanakah skenarionya? Kemungkinan besar pedagang eceran akan membayar lebih kepada oknum SPBU untuk setiap jerigen bensin, kemudian menjualnya kembali ke masyakarat dengan harga yang lebih tinggi.

Harga normal bensin sekarang adalah Rp. 6.500, tetapi harga di pedagang eceran meningkat menjadi Rp. 8.000 s/d Rp.9.000 pada hari biasa, sedangkan menjelang perayaan hari besar keagamaan rata-rata harga bensin eceran yang dipatok akan lebih dari harga tersebut diatas. Baik SPBU dan pedagang eceran diuntungkan dengan 'kerjasama' ini, tetapi masyarakat/konsumen sangat dirugikan.

Lemahnya kontrol pemerintah serta kurang kritisnya perwakilan rakyat terhadap masalah ini membuat SPBU dan pedagang eceran semakin leluasa melakukan aksinya, sehingga tidak heran jika pertumbuhan pedagang eceran sangat cepat diseluruh Indonesia.

Bang Napi pernah mengatakan kejahatan itu terjadi karena dua hal, yaitu ada niat dan ada kesempatan. Kesempatan inilah yang diambil oleh kedua pihak ini untuk menambah pundi-pundi harta mereka dengan cara-cara yang tidak semestinya.

Sesungguhnya pelaku utama disini adalah oknum SPBU karena mereka mempunyai kuasa untuk tidak menjual bensin kepada pedagang eceran. Pedagang eceran disekitar POM bensin juga salah karena melakukan bisnis yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena ada kebijakan pemerintah. Tetapi untuk kasus tertentu, misalnya pedagang eceran yang jauh dari SPBU mungkin tidak dapat dipersalahkan karena memang ada ongkos transportasi, dan masyakarat yang jauh dari SPBU mungkin akan lebih memilih membeli pada pedagang eceran daripada jauh-jauh ke SPBU. 

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah agar masalah pendistribusian BBM tepat pada sasaran sehingga pengguna kenderaan bermotor tidak terlalu "sering" membaca tulisan ajaib dari SPBU tatkala akan mengisi BBM. Selanjutnya pemerintah Aceh selatan juga harus mengeluarkan kebijakan yang tegas terkait pembeli bensin yang menggunakan jerigen besar. Sebab faktanya bensin yang dibeli dengan jerigen tersebut akan dijual kembali secara eceran dengan harga lebih tinggi. Apalagi dengan praktik seperti itu akan menyebabkan ketersediaan BBM di SPBU akan cepat habis.
  
Sudah seharusnya permasalahan diatas menjadi sorotan kita semua dan mendorong pemerintah, mahasiswa dan pemuda setempat untuk lebih kritis menyikapi masalah tersebut. Walau bagaimanapun aturan pemerintah harus dipatuhi. Dalam aturan tidak boleh para pengecer berada di sekitar SPBU, jarak pengecer paling dekat minimal satu kilometer dari SPBU.

Penulis: Lestari Agussalim

BLSM yang Tak Tepat Sasaran

By: Redaksi KluetMedia on Rabu, Juli 03, 2013 / comment : 0

OPINI - Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) merupakan dana bantuan yang peruntukkan bagi masyarakat miskin menyusul pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dimulai sejak 22 Juni 2013 lalu.

Pembayaran BLSM bagi masyarakat miskin itu dilakukan sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013, tanggal 8 Mei 2013 kepada Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentang sosialisasi kebijakan penyesuaian subsidi BBM. Bantuan yang disalurkan melalui PT Pos Indonesia (Persero) ini, mulai dibayar 25 Juni 2013 sebesar Rp300 ribu untuk masa dua bulan atau Rp150 ribu/bulan.

Namun ironisnya, di seluruh Indonesia terlihat banyak kekecewaan yang timbul karena kalangan masyarakat benar-benar miskin yang berhak jutru tidak menerima BLSM, padahal mereka sangat merasakan betapa beratnya  imbas dari kenaikkan harga BBM tersebut.

Sesuai rancangan pemerintah, dana bantuan yang akan dibagi dua tahap dalam setahun ini, khusus diperuntukkan bagi Rumah Tangga Sederhana (RTS), tetapi ternyata data yang dikirim Pemerintah Pusat melalui PT Pos Indonesia tidak tepat sasaran, karena sebagian besar penerima BLSM adalah keluarga yang masih tergolong mampu. “Saya tidak mendapatkan bantuan itu,” kata Salma (57),  janda korban tsunami asal Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh dengan nada sedih.

Selama ini Salma yang menanggung beban dua anaknya Sahlon (22) dan Nafsiah (25), mendapatkan bantuan beras miskin (Raskin) setiap bulan, yang disalurkan melalui Bulog. “ Saya tidak mendapatkan bantuan apapun, selain raskin. Tapi zakat fitrah yang dibagi menjelang Hari Raya Idulfitri itu selalu dapat,” ucapnya dengan dahi yang sedikit kerut.

Salma setelah ditinggalkan suaminya Duli serta seorang anaknya yang dihempas gelombang tsunami pada 24 Desember 2004 silam, hanya mampu membuka kios berukuran 2 x 2 meter berdampingan dengan rumah bantuan bertipe 45 yang diperolehnya, untuk tetap bertahan hidup.

Dagangannya hanya sayur-sayuran serta beberapa bahan keperluan dapur lain dengan bermodalkan uang pinjaman dari koperasi sebesar Rp2 juta. Dari pinjaman itu, Salma harus membayar cicilan Rp100 ribu setiap bulan. “Saya harus tutup uang itu setiap bulan Rp100 ribu, sedangkan pendapatan saya sehari antara Rp20 ribu sampai Rp50 ribu saja. Kalau laku Rp50 ribu, saya simpan Rp10 ribu untuk bayar kredit,” ungkap Salma.

Dengan berpenghasilan yang sedikit, Salma sangat mengharapkan BLSM, karena dengan kenaikan BBM, harga bahan lainnya di pasar semakin meningkat. Saya tidak tahu kenapa tidak mendapatkan bantuan itu, saya juga tidak terdaftar dalam data pembagian BLSM. Tapi, saya tidak terlalu berharap dengan bantuan itu, kalau ada saya bersyukur alhamdulillah, karena saya tidak suka meminta-minta,” ujarnya..

Akan tetapi yang sangat Salma kejutkan, ada warga mampu terdata dalam daftar penerimaan BLSM. “Saya heran, kenapa orang yang mampu mendapatkan bantuan itu, padahal mereka punya rumah bertingkat dan toke boat lagi,” jelasnya.

Hal serupa juga dialami Nursiah. Janda anak dua korban tsunami asal Gampong Lampulo ini tidak mendapatkan dana BLSM, padahal ia sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci pakaian dengan mendatangi setiap rumah penduduk. Bahkan, salah seorang anak Nursiah bernama Abdul Rahman (25) kini mengalami sakit kejiwaan.

“Anak Nursiah satunya stres. Menurut yang kami ketahui, Nursiah tidak mendapatkan dana bantuan itu, padahal ia  hanya bekerja sebagai pencuci pakaian orang,dengan mendatangi rumah-rumah dengan mengendarai sepeda untuk memperoleh pekerjaan,” ungkap Salma.

Untuk itu, Salma mengharapkan agar pemerintah berlaku adil dalam pembagian bantuan tersebut. Begitu juga warga miskin lainnya di kawasan Lampulo, Sabar Tanus (45) yang berpenghasilan rata-rata per hari di bawah Rp50 ribu dari hasil penjualan air tebunya, tidak tercantum dalam daftar penerimaan BLSM.

Padahal mantan atlet pencak silat kebanggaan Aceh dan pernah mengharumkan nama Indonesia ini, setelah meraih mendali emas dalam even olahraga Pesta Sukan di Brunei Darussalam sebelum pensiun 1991, sangat berharap mendapatkan BLSM karena saat ini hanya menumpang di rumah sepupunya dan membiayai hidup dua anaknya serta seorang isteri Sri Wahyuni (35). Pekerjaannya juga sering terkendala akibat mesin penggiling tebu sering macet.

Hanya 135 RTS

Berdasarkan data yang diperoleh, di kawasan Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, yang mendapatkan BLSM hanya 135 RTS. Padahal seharusnya 310 RTS  sesuai data pihak pendesaan.”Kami tidak mengerti dengan surat yang diantar PT Pos, karena penyaluran BLSM tidak sesuai dengan data yang ada di daerah kami,” kata Geuchik Gampong Lampulo, Alta Zaini.

Alta berharap pemerintah bisa turun langsung mendata, siapa yang berhak menerima BLSM. Pihaknya siap membantu pemerintah melakukan survei ulang supaya mendapatkan data yang jelas. “Kalau seperti sekarang ini, dipastikan para geuchik (kepala desa) yang disalahkan masyarakat, padahal tidak permah menyampai data yang salah,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Pos Banda Aceh, Ahmad Yani saat ditemui di ruang kerjanya, merincikan di Kota Banda Aceh yang mereka terima datanya hanya 6.160 RTS. Jadi menyangkut adanya masyarakat yang mengeluh tidak mendapatkan BLSM itu bukan tanggung jawab PT Pos Indonesia. Karena, datanya dari Pemerintah Pusat..

Dikatakan, alamat pengiriman Kartu Perlindungan Sosial (KPS) yang dicantumkan Kementerian Sosial pun tidak menjelaskan dengan rinci nama jalan serta alamat rumah. Di situ hanya disebutkan dusun, desa, kecamatan dan kabupaten/kota saja. Sehingga membuat kesulitan pihak PT Pos untuk mencari alamat warga yang menerima BLSM. Mereka pun terpaksa melibatkan aparat pedesaan untuk membagikan KPS kepada warga.

“Kami merasa sangat kebingungan saat warga melemparkan permasalahan, sehingga harus menjelaskan lagi secara detil kepada masyarakat agar mereka memahami kondisi yang sebenarnya. Karena kami di sini hanya menyalurkan dana BLSM saja, sedangkan soal pendataan hanya Pemerintah Pusat yang mengetahuinya,” tandas Ahmad Yani.

Oleh: Reza Fahlevi

Mahasiswa Harus Pahami Fungsinya Dalam Masyarakat

By: Redaksi KluetMedia on Selasa, Juni 18, 2013 / comment : 0

EDITORIAL - Pada dasarnya peran mahasiswa dalam sosial kemasyarakatan sangat penting sebab dengan bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman berorganisasi dikampus akan menunjang segala kegiatan yang nantinya dikembangkan. Untuk itu, mahasiswa harus mengenal siapa dirinya sehingga akan muncul rasa tanggung jawab dan kewajiban baginya untuk memperbaiki kekurangan – kekurangan yang ada ditanah kelahirannya.

Akhir – akhir ini, penulis melihat tingkat keaktifan mahasiswa dalam wilayah Kluet Raya dalam bermasyarakat mulai berkurang. Tatkala berada dikampung halaman, mereka lebih sering ‘nongkrong” bersama teman-teman lainnya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Sering terlihat mahasiswa begitu ‘enjoy’ keluyuran diatas sepeda motor disaat waktu shalat maghrib akan dilaksanakan. 

Disamping permasalahan diatas, Kegiatan mahasiswa(i) sewaktu berada dikampung halaman lebih banyak digunakan untuk pribadi dan terkesan ‘malas’ terlibat dengan aktivitas yang ada dilingkungannya.  Jika yang laki – laki lebih banyak menghabiskan waktu libur di warung kopi atau keluyuran, sementara yang perempuan lebih banyak “aktif” dikamar dengan segala aktivitas dunia maya mereka.

Permasalahan – permasalahan diatas itu yang menyebabkan mahasiswa menjadi tidak produktif digampong mereka sendiri. Mereka tidak memanfaatkan waktu libur tersebut untuk berdiskusi dengan perangkat gampong tentang masalah yang kerap dialami digampong itu. Mereka lebih sering diam dan menunggu hingga ada orang lain yang maju kedepan lalu mereka kemudian mengekori.

Sebanyak 9 dari 15 responden dari berbagai profesi yang penulis minta pendapatnya terhadap permasalahan diatas menyebutkan bahwa penyebab tidak produktifnya mahasiswa ditengah masyarakat karena mereka kurang peka terhadap lingkungannya sendiri. 

Hal ini dipengaruhi oleh pergaulan yang tidak sehat yang didapat selama kuliah. Selain dari jadwal kuliah, mereka lebih banyak menghabiskan waktu ditempat – tempat yang tidak tepat untuk memotivasi dirinya dalam hal bersosialisasi sehingga lambat laun menjadi gaya hidup dan terbawa saat berada di kampung halaman. Mahasiswa sudah dijerat oleh pengaruh media baik itu media tv maupun internet sehingga mereka lalai dan bersikap masa bodoh dengan lingkungannya. 

Penyebab lain yang menjadikan mahasiswa kurang produktif dalam masyarakat adalah mereka kehilangan identitas akibat ketidak tahuan mereka akan fungsi dan tugas mahasiswa itu sendiri. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa mahasiswa merupakan barisan terdepan dalam demokrasi dan pembangunan. Semua itu bisa terwujud apabila kapabilitas figur tertempa dengan baik. Kebiasaan berorganisasi akan memunculkan banyak ide dan inovasi yang bisa diterapkan ditengah masyarakatnya. Lain halnya apabila figur yang diharap untuk memberi perubahan dan perbaikan itu salah tempa, tiada ide yang bisa dimunculkan dan akhirnya mereka hanya akan menjadi penonton diantara masyarakatnya sendiri. Mahasiswa yang seperti inilah akan membuat citra mahasiswa di tengah masyarakat menjadi hambar.

Oleh karena itu, sudah saatnya mahasiswa kembali pada jalurnya sebagai figur pembaharuan didalam masyarakat. Sebagai calon – calon pemimpin dan tokoh bangsa, adalah bijak bila sedari sekarang berupaya untuk lebih ‘memberi’ kepada masyarakat demi terciptanya kesinambungan yang sehat dan bermuatan positif. Mulailah dengan langkah kecil namun bermanfaat.

Harus disadari bahwa Mahasiswa bukan lagi anak SMA yang masih suka bermain dan membuang – buang waktu percuma dan juga bukan pembawa tren fashion dalam masyarakatnya sehingga bisa memunculkan stigma yang negatif. Secara moral, mahasiswa harus punya andil dalam memajukan daerahnya baik itu dalam bidang pendidikan maupun masalah sosial lainnya.

Mahasiswa harus bisa menyadari perannya sebagai figur pembaharuan. Dengan menghadiri setiap kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan digampong maka akan mudah untuk menyumbangkan ide - ide yang kreatif dan bermutu kepada masyarakat. Berbuatlah dengan rasa tanggung jawab untuk memperbaiki kekurangan – kekurangan yang ada ditanah kelahiran masing - masing. 


catatan : Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskrimidasi peran mahasiswa namun lebih kearah introspeksi diri  sehingga kita akan menemukan solusi terbaik agar peran mahasiswa itu bernilai dan berbobot ditengah masyarakatnya sendiri.

Indonesia Bisa Marah

By: Redaksi KluetMedia on Selasa, Mei 07, 2013 / comment : 0

EDITORIAL - India kembali marah begitu terjadi kasus pemerkosaan dan penyiksaan terhadap seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Anak perempuan ini diculik, diserang selama 48 jam dalam sebuah ruangan tertutup, lantas diperkosa. Polisi sudah menangkap dua tersangka pelaku, tapi itu tak menyurutkan kemarahan India.

Ini adalah kali kesekian warga India mengamuk lantaran terjadi kasus pemerkosaan. Kasus yang pertama kali memicu adalah pemerkosaan terhadap seorang mahasiswa akhir Desember lalu di atas sebuah bis yang melaju. Si perempuan lantas dilempar begitu saja di tepi jalan dan akhirnya meninggal. Kasus hukumnya langsung digelar, disertai aneka desakan dari warga untuk mereformasi kepolisian, mengubah aturan hukum dan lainnya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Di bulan ini saja, ada L, usia 17 tahun, yang diperkosa hingga hamil 4 bulan oleh ayahnya sendiri. Juga ada siswi SMP  berusia 14 tahun yang diperkosa bergilir oleh 10 laki-laki di sebuah kontrakan. Kedua kasus ini dilaporkan ke polisi dan muncul di pemberitaan media. Bukan tidak mungkin, ada banyak kasus pemerkosaan lainnya yang luput dari liputan media atau bahkan tidak dilaporkan ke polisi.

Menurut data pemerintah India, setiap 20 menit ada satu perempuan India yang diperkosa. Dan sejak kasus pemerkosaan yang terjadi akhir tahun lalu di India, warga pun meneriakkan kemarahan mereka. Seharusnya kita pun bertanya kepada diri sendiri: mengapa kita tidak pernah semarah itu? Di Indonesia jelas terjadi banyak kasus pemerkosaan, dengan korban dari beragam umur. Kita marah, iya. Tapi mengapa tidak sampai semarah India?

Bulan April identik dengan Hari Kartini, seorang pahlawan nasional yang lekat dengan perjuangan emansipasi untuk perempuan. Seharusnya, di bulan ini juga, kita merasa lebih marah jika terjadi kasus pemerkosaan yang sangat merendahkan derajat perempuan. Tapi toh itu tidak terjadi. Hari Kartini justru diterjemahkan di berbagai sekolah sebagai parade berbaju daerah – yang sebetulnya lebih pas untuk Hari Sumpah Pemuda. Atau dirayakan dengan lomba memasak, berbaju kebaya, yang dianggap merepresentasikan perempuan. Atau yang paling minim adalah sekadar berteriak di media sosial – sesuatu yang sifatnya sungguh artifisial.

Komnas Anak mencatat kasus perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak, terutama perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari hampir tiga ribu laporan yang diterima tahun lalu, 62 persen di antaranya adalah kekerasan seksual. Komnas Anak sampai menyebut tahun 2013 ini sebagai tahun darurat kekerasan seksual terhadap anak. Tapi ini pun tak cukup untuk membuat kita gelisah dan berteriak marah.

Apa kita harus menunggu ada satu perempuan Indonesia diperkosa tiap 20 menit, baru kita mau melakukan sesuatu? Tentu tidak, dan jangan. Kita mungkin perlu lebih menebalkan empati kita terhadap perempuan korban perkosaan. Utamanya dengan tidak menempatkan mereka sebagai pemicu perkosaan itu sendiri. Dengan menebalkan empati, semoga saja kemarahan kita terus memuncak dan mendesak aparat terkait untuk lebih becus bekerja. Juga memastikan masyarakat tak melemahkan perempuan, dengan cara apa pun.
sumber:portalkbr.com

Pemicu Isu Pemekaran ALA dan ABAS

By: Redaksi KluetMedia on Minggu, Mei 05, 2013 / comment : 0

OPINI - Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) seharusnya tidak muncul lagi setelah Aceh menyesap udara perdamaian. Wacana pemekaran kedua provinsi ini seperti duri dalam daging untuk mengoyak Aceh.

Rencana pembentukan ALA muncul sejak 1999,  sedangkan ABAS baru pada 2003. Anehnya, kedua isu ini muncul bersamaan dengan pemilihan umum di Aceh, bertalian erat dengan ambisi politik.

Pada 2004, ALA dan ABAS kembali tenggelam seiring diberlakukan Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh. Deklarasi ALA dan ABAS baru dilakukan setahun kemudian di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Pada 2006, sejumlah tokoh ALA dan ABAS bertandang ke Dewan Perwakilan Rakyat RI. Tujuannya melobi, tetapi ide kembali mental.

Setelah surut beberapa jenak, akhir 2007 dan awal 2008, isu ALA kembali berhembus di Aceh. Usai diredam, desakan pemekaran kembali bergaung kala muncul Qanun Bendera dan Lambang Aceh.
ALA dan ABAS harus dilihat bukan murni keinginan rakyat. Ide ini muncul dari puluhan tokoh yang mencari kekuasaan ketika mereka tak lagi mendapat jabatan di pemerintahan.

Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf menganggap pemantik isu pemekaran itu seperti bermimpi di siang bolong. Bahkan, Mualem menengarai, tokoh-tokoh yang bermain di balik isu pemekaran, justru dari luar Aceh. Mereka, kata dia, memanfaatkan isu itu untuk motif yang sangat merugikan Aceh.

Anggota dewan di Gayo Lues, Haji Rabusah, bahkan tahu persis siapa yang memiliki kepentingan di balik pemekaran. Rabusah Wakil Koordinator pembentukan ALA. Namun, kini ia kapok, tak mau lagi ikut-ikutan. Berkaca dari pengalaman dulu, Rabusah menilai kecil kemungkinan pemekaran provinsi dikabulkan pusat.

Lagi pula, pemekaran membutuhkan dana, persetujuan pemerintah provinsi induk, rekomendasi DPR, dan persetujuan presiden. Wacana ALA dan ABAS malah belum menyentuh keempat faktor itu.

Kita percaya pemekaran justru bakal menjadi bumerang baru. Para elite politik yang haus kuasa pasti mempertahankan segala cara untuk mendapatkan jabatan di provinsi baru itu nantinya.

Akan lahir kecamuk, seperti muncul barisan sakit hati yang tersisih dari pertarungan politik. Lalu, ketika laga kekuasaan itu terjadi, dengan serta-merta kesejahteraan untuk rakyat bak jauh panggang dari api; mustahil diwujudkan.

Bila kini kesejahteraan menjadi alasan utama pemekaran, itu isu yang provokatif. Pemerintah Aceh sudah membagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh 2013 sekitar Rp 11,7 triliun ke setiap daerah. Pembagiannya tentu saja berdasarkan jumlah penduduk, tingginya kemiskinan, dan luas daerah.

Tinggal lagi sekarang, dana itu benar-benar digunakan untuk membangun daerah. Pemerintah Aceh juga harus intens membangun komunikasi, baik dengan kawasan barat selatan maupun tengah, terutama dengan lebih menggencarkan sosialisasi perjanjian damai MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Dengan begitu, masyarakat tak bisa lagi dipengaruhi pemikiran orang-orang yang terlena mimpi pemekaran.(MUJAHID ARRAZI/AP)

Wajah Baru Dengan Harapan Baru

By: Redaksi KluetMedia on Senin, April 29, 2013 / comment : 0

EDITORIAL - Sebanyak 1.200 lebih bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dari 15 partai politik nasional dan lokal sudah secara resmi mendaftar ke Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Para bakal calon legislator yang akan bertarung memperebutkan 81 kursi DPRA pada Pemilu Legislatif 2014, ternyata sebagian besar ternyata wajah-wajah baru yang belum cukup dikenal masyarakat.

Wajah baru bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Tapi, bagi masyarakat, memilih para pendatang baru itu memang ada unsur “gambling” di dalamnya. Tapi, dibanding berharap pada wajah-wajah yang pernah mengecewakan, tantu tidak salah berharap pada muka-muka baru yang penuh harapan.

Begitpun, para pakar politik dan pegiat demokrasi jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita semua supaya mencermati setiap tahapan pencalonan legislatif oleh parpol-parpol maupun KIP. Kecermatan itu diperlukan untuk memastikan bahwa caleg yang maju bukan politisi bermasalah hukum, moral, maupun intelektual.

Seorang aktivis pemberdayaan politik masyarakat mengatakan, parpol-parpol sejak awal tidak kuat dalam peran-peran fungsi politiknya, misalnya pendidikan politik, kemudian menyerap aspirasi publik. Karenanya pada tahapan pencalegan terasa berat bagi banyak pengurus parpol. Apalagi, orientasi para caleg itu cuma dua, yakni popularitas dan uang.

Makanya, karena kita ingin perlemen kita di semua level akan kuat guna memberikan kontribusi besar bagi masyarakat, maka sosialisasi caleg ke publik harus terbuka dan meluas. Ini sangat penting agar masyarakat tahu apakah seseorang itu jadi caleg karena memang berkualitas atau karena punya uang dan koneksi dengan elit parpol.

Di mana-mana sekarang lagi musim caleg “jatuh dari langit”. Ini dimaksudkan sebagai orang tidak membumi tiba-tiba muncul di nomor urut yang dianggap jadi. 

Hal lain yang kita pandang sangat penting adalah masalah etika para caleg dan parpol dalam “berperang”. Walau belum terlalu deras, saat ini proses sosialisasi diri para bakal calon sudah mulai menghangatkan suasana. Di banyak kesempatan, para bakal caleg mulai “menjual” diri.

Bersamaan dengan maraknya gerakan pendekatan yang dilakukan sejumlah caleg untuk meraih simpati masyarakat, tak jarang muncul pula aksi kampanye hitam (black campaign) untuk menjatuhkan caleg lainnya. Cara-cara seperti ini memang sangat mencemaskan kita yang sedang menikmati Aceh dalam suasana kondusif. Fitnah dan semacamnya yang mengarah kepada kampanye hitam ini, selain tidak beretika, juga dapat menganggu stabilitas politik.  Dalam momen seperti ini, semua pihak mampu menjaga kondisi yang ada sehingga perhelatan demokrasi dapat tetap berkualitas.(serambi)

Kenapa Harus Mirip Bendera GAM?

By: Redaksi KluetMedia on Kamis, Maret 28, 2013 / comment : 0

EDITORIAL - Pemerintah Aceh dan DPR Aceh telah mengesahkan Qanun (Peraturan Daerah) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.  Bendera yang disahkan sebagai bendera Aceh mirip dengan lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM).  

Kenapa mesti mirip, mengutip berita di Kompas, 27 Maret 2013, ada batasan tertentu yang harus diperhatikan Pemerintah dan DPR Aceh:
  • Bukankah ada undang-undang Pemerintahan Aceh - UU no 11/2006- dan Peraturan Pemerintah no 77 tahun 2007, yang melarang pemakaian logo dan bendera separatis, yaitu logo dan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
  • Menurut Nota Kesepahaman Helsinki antara Pemerintah Negara kesatuan Republik Indonesia dan GAM, Aceh diperbolehkan memiliki bendera, lambang dan lagu himne.  Namun disebutkan juga anggota GAM tidak lagi memakai seragam, lencana, atau simbol GAM setelah penandatangan nota kesepahaman itu.

Selain melanggar Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia dan Nota Kesepahaman Helsinki, pendapat umum di Acehpun tidak semua mengamini pengesahan qanun tentang bendera dan lambang Aceh.  Masyarakat Gayo dan mungkin juga suku-suku asli lain di Aceh bagian selatan menyatakan tak setuju dengan lambang dan bendera Aceh, mereka merasa tidak terwakili dengan bendera dan lambang itu.  Bandingkan dengan euphoria para pemuda di Banda Aceh yang mengarak bendera Aceh keliling kota.

Pertanyaan mendasar kenapa pimpinan tertinggi Pemerintah Aceh yang bekas tokoh GAM di luar negeri seperti memaksakan bendera Aceh sangat mirip bendera GAM?  Perdamaian sudah ditandatangani, otonomi sangat luas sudah diberikan, tentu harus ada imbal baliknya, yaitu ketenteraman, kedamaian, tidak mengusik kecurigaan, tidak menanam bibit perpecahan.  Bukankah Aceh masih bagian NKRI.

Mudah-mudahan Pemerintah Pusat bijaksana dan tegas bersikap, pertimbangkan juga perasaan bangsa Indonesia lainnya, jangan terjebak dengan permainan kalimat dan logika yang menggiring pembenaran pengesahan bendera mirip GAM sebagai bendera Aceh.  Masa gara-gara bendera harus timbul konflik lagi?  Jangan membayangkan dulu konflik Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri, yang paling dekat adalah konflik diantara rakyat Aceh sendiri.  Bila bendera Aceh dikibarkan di wilayah Gayo, maka bendera akan diturunkan secara paksa, demikian sepenggal berita Kompas.com, 26 Maret 2013.

Penulis: Hendi Setiawan, Kompasiana

Pola Pengkaderan Parpol di Aceh Memprihatinkan

By: Redaksi KluetMedia on Rabu, Maret 27, 2013 / comment : 0

Sejauh ini terdapat sekitar 10 Partai Politik Nasional (Parpolnas) dan tiga Partai Lokal (Parlok) yang akan bersaing memperebutkan kursi DPR, DPRA dan DPRK dalam Pemilu Legislatif yang berlangsung serentak pada April 2014 mendatang.

Untuk Parpolnas masing-masing, Partai NasDem, PKB, PKS, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Gerindra, PD, PAN, PPP dan Hanura. Sementara parlok masing-masing, PA, PNA dan PDA.

Semua parpol dan parlok terlihat sudah mulai sibuk mendesain aneka model penjaringan caleg supaya bisa memenuhi kuota 3-12 kursi tiap dapil untuk DPRA dan kabupaten/kota, serta 3-10 kursi untuk DPR, termasuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan pada tiap dapil.

Dalam memenuhi target itu, parpol dan parlok mulai membuka kesempatan kepada masyarakat dan kalangan internal sendiri, tokoh masyarakat bahkan ulama untuk melamar.
Terlihat sejumlah pengusaha, birokrat, akademisi, termasuk ibu rumah tangga, sudah mengambil ancang-ancang untuk ikut meramaikan bursa.

Tentu pula kader-kader internal parpol atau parlok yang memiliki prospek elektoral dan bergizi tinggi, atau mareka yang berpengaruh dalam partai. Namun pengalaman dalam Pemilu 2009 lalu terhadap penjaringan yang dilakukan, baik parpolnas maupun  parlok belum mampu melembagakan pengkaderan caleg dari internal. Akibatnya, lompat pagar tak terhindarkan.

Maka tak heran pula bila pola pelembagaan sistem kepartaian di Aceh dinilai buruk, karena hanya akan melahirkan politikus karbitan dan instan.

Merekrut politikus karbitan dipastikan hanya menjaring sumber daya opurtunis. Karena mareka tidak lahir dari proses dan dinamika berorganisasi, pada parpol secara simultan dan berjenjang.

Pola ini amat memprihatinkan karena parpol dan parlok hanya memberi jatah kepada caleg yang bersedia menyumbangkan gizi tinggi.

Kader internal yang potensial, namun tak memiliki cukup gizi tersingkir dari pencalonan. Pola ini bukan saja kian meminggirkan peran kader internal parpol, melainkan juga kian tersanderanya parpol oleh politik transaksional yang materialistik.

Ini pula yang telah mengkhawatirkan banyak orang dalam Pemilu 2014 di Aceh nanti, parpol hanya mengkemaskan caleg mareka yang memiliki tingkat popularitas, jaringan sosial luas serta segunung uang, untuk menjadi vote getter pada tiap dapil.

Tidak ada yang bisa memungkiri bila mareka-mareka yang pop tadi akan mendominasi Pemilu 2014. Profesi lain biar memiliki ilmu lebih minggir saja.

Fakta ini menunjukkan orientasi parpol dalam menjaring caleg tidak hendak memperbaiki kualitas anggota DPR, DPRA atau DPRK, karena lebih mengutamakan kemenangan dengan meraup suara dengan banyak uang.

Bukan mereka dari kalangan profisional parpol atau parlok di Aceh tidak pernah  mempersiapkan caleg-caleg untuk pemilu dengan mendasarkan pada pemenuhan persyaratan moral, pengetahuan akan kebajikan untuk kepentingan umum, keahlian teknis atau instrumental yang diperlukan guna mengemban tugasnya sebagai pejabat legislatif.

Barangkali kalangan parpol dan parlok di Aceh kini sudah saatnya melakukan kontemplasi total melalui introspeksi dan retrospeksi tentang kebijakan yang telah, sedang, dan yang akan dirancang dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Paradigma perlu redefinisi, reorientasi, dan revitalisasi perilaku pimpinan politik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak.

Firman Allah SWT; "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah. (Q.S Al Anbiyaa’ 21 : 73 ).

Berlandaskan ayat di atas, bahwa seorang pejabat adalah orang-orang terpilih dan telah digariskan oleh Allah SWT menjadi pemimpin.

Pemimpin negara, daerah atau lembaga apapun bentuk dan wujudnya harus mengetahui fungsi dan tugas yang diemban. Karena menjadi seorang pejabat, semua yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. (Usman Cut Raja)

Arah dan Implementasi Pendidikan Aceh

By: Redaksi KluetMedia on Senin, Februari 18, 2013 / comment : 0

PENDIDIKAN kerap dianggap remeh. Dlihat dari indikator besaran anggaran yang dialokasikan dalam APBN, sungguh para politisi kita telah gagal. Barulah beberapa tahun terakhir saja, anggaran pendidikan nasional mencapai 20 persen. Sayangnya masih banyak penyimpangan anggaran dan bersifat salah kelola. Maka diperlukan suatu rambu dan control yang jelas.

Khusus provinsi Aceh, acuan kerja (control) itu telah tertuang dalam Renstra Pendidikan Aceh (2007-2012). Dan itu sudah ditetapkan surat keputusan Gubernur Aceh, Tahun 2007 lalu. Strategi pokoknya mencakup Pemerataan dan Perluasan Kesempatan Pendidikan, Peningkatan Kualitas, Relevansi dan Efisiensi, Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas dan Citra, dan terakhir Pengembangan Sistem Pendidikan Berbasis Nilai Islami

Renstranya jelas, maka menurut saya kritik terhadap arah kebijakan pendidikan Aceh kurang tepat jika yang dimaksudkan adalah desain dan arah kebijakan pendidikan. Malahan Prof. Bambang Sudibyo, Mendiknas menilai bahwa Renstra Pendidikan Aceh itu sudah selaras dengan Renstra Pendidikan Nasional dan memenuhi rekomendasi UNESCO untuk Education For All. Seharusnya kritik diarahkan pada bagaimana rencana strategis itu diimplementasikan secara efektif dan efisien, agar sasaran yang mau dicapai dapat lebih optimal, memiliki out-put dan out-comes pendidikan Aceh yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mengacu pada empat strategis pendidikan Aceh, harus dijabarkan secara konkrit. Misal, tentang strategi Perluasan Kesempatan dan Pemerataan Pendidikan sudah dilaksanakan, apakah ini masih perlu ada tidak dengan berpedoman pada indikasi statistik dari performance indicator 2008. Begitu juga Strategi Prioritas Peningkatan Mutu Pendidikan yang telah direncanakan meliputi penghargaan kepada tenaga kependidikan, melengkapi sarana pendukung, mengefektifkan pembinaan gugus dan MGMP, mengembangkan sekolah percontohan, menumbuhkan minat keilmuan siswa, meningkatkan life skill education melalui SMK, dan dukungan kepada kegiatan penelitian yang membantu penyusunan program pendidikan; apakah sudah dituangkan dalam rencana aksi secara tepat dan proporsional oleh lembaga Dinas Pendidikan Aceh?

Sudahkah seluruh kerangka kebijakan strategis dan porioritas ini dielaborasi ke dalam rencana aksi (plan of actions) dari masing masing satuan kerja, baik yang bersifat jenjang struktural, maupun rentang fungsional yang ada? Apakah desain anggaran yang diajukan telah mengacu kepada desian rencana strategis dan prioritas program ini?

Sejumlah diskusi dan seminar sering digelar. Sejogianya rumusan itu bisa dirumuskan secara konkrit dalam dan dimplemntasikan. Misal, tentang penerapan strategi pendidikan berbasis nilai nilai islami, seperti mewajibkan mampu membaca Alquran, dorongan melaksanakan shalat tepat waktu dapat dikatagorikan sebagai pewujudan nilai islami dalam pendidikan. Terciptanya perilaku jujur, disiplin, suka menolong, ikhlas berbuat, suka berderma, hormat kepada yang lebih tua, suka menyerukan kebajikan, dan menghindar dari perbuatan tercela. Apakah ini sudah dijadikan sasaran yang mau dicapai dalam interaksi belajar mengajar di kelas?

Sebagai suatu system yang strategis, dunia pendidikan memiliki banyak stake-holder yang berkepentingan. Murid atau siswa adalah pihak yang paling memiliki posisi sentral, di samping guru, orangtua, masyarakat, pemerintah, lembaga pemberi kerja, bursa tenaga kerja, jenjang lembaga pendidikan yang lebih tinggi sebagai tempat kelanjutan belajar, para professional dan dunia keilmuan, perguruan tinggi dan lainnya. Maka beban dan tangung jawab pendidikan pun sejogiyanya dibagi kepada setiap stake holder sesuai dengan kapasitas dan otoritas masing-masing. Sudah entu Dinas Pendidikan merupakan lembaga yang mendapat porsi paling besar. Untuk itu perlu ada partisipasi korektif, kritis, di samping saran dan usul konstruktif, dukungan finasial, politik dan kebijakan yang tepat dan strategis.

Ingat! Betapa pun lengkapnya suatu rentsta, pasti akan dimakan waktu jika tidak ada langkah konkrit. Karena perlu meng-up-date melalui mekananisme revisi. Kritik terhadap kebijakan dilakukan secara berkala, tanpa interest pribadi, dan perbedaan kepentingan sehingga menciptakan satu kondisi yang kondusif. Para akademisi perlu lebih aktif member konstribusi untuk mendorong tercapainya harapan harapan pendidikan Aceh yang lebih baik dan bermartabat.

* Penulis adalah lektor pada FKIP Unsyiah, Wakil Ketua ISPI dan pengurus MPD Aceh, Ketua Dewan Pembina The Aceh Cultural Institute (ACI).

"Disfungsi" Demokrasi

By: Redaksi KluetMedia on Jumat, Februari 15, 2013 / comment : 0

Silks demokrasi Indonesia pasca reformasi sudah berjalan tiga kali putaran. Tiga kali pergantian presiden dan anggota dewan, bersamaan dengan itu tak terhitung lagi jumlah pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota yang berlangsung di seluruh daerah di Indonesia. Proses pemilihan di tiap daerah yang berbeda waktu penyelenggaraannya membuat media sepertinya tidak pernah memiliki jeda untuk memberitakan perhelatan pergantian kepala daerah. Pemilihan terakhir yang masih hangat dibicarakan bahkan memunculkan fenomena dan euforia tersendiri yaitu pemilihan gubernur DKI Jakarta, kemudian yang menanti ke depannya pemilihan gubernur Jawa Barat dan gubernur Sumatera Utara.

Fenomena estafet pemilihan kepala daerah ini memunculkan gejala massif di seluruh daerah; munculnya industri politik demokrasi. Istilah membeli kapal politik, politik dagang sapi, hasil survei politik, elektabilitas politik, selalu memenuhi kosakata perhelatan pemilihan di tiap daerah. Setiap kali pemilihan kepala daerah/kota digelar di tiap daerah, industri politik demokrasi mulai bergeliat. Kapital yang dikeluarkan industri musiman ini bahkan bisa mengalahkan kapital seluruh industri riil atau finansial di Indonesia. Mulai dari melibatkan usaha spanduk dan kaos sablon, pembagian sembako, pembagian uang ratusan ribu untuk tiap warga yang dikunjungi, iklan politik di media cetak dan elektronik, sampai konsultasi politik, jual beli partai politik atau jual beli KTP agar dapat turut serta dalam kontestasi pemilu.

Keseluruhan industri politik demokrasi ini tentunya melibatkan berbagai perusahaan atau perorangan terbuka yang sahamnya dipegang kaum cukong, anggota parlemen, pemerintah dan ormas-ormas. Bisa dikatakan industri politik demokrasi adalah industri yang paling berkembang di Indonesia, sekaligus paling menjanjikan dan paling membangkrutkan. Jika ada industri yang paling gila dengan tingkat loyalitas dan pengkhianatan dengan porsi yang sama besar, dan setiap pelakunya memiliki kerelaan yang sangat tinggi dalam aduan, tidak lain dan tidak bukan adalah industri politik demokrasi. Karena dalam setiap perhelatan pemilihan seseorang yang masih menyandang status ‘bakal calon’ harus mengeluarkan banyak modal untuk sosialisasi sampai mendapatkan kepastian dirinya akan naik status menjadi ‘calon’. Seluruh proses ini sejatinya hanya berlangsung pada tingkat segelintir elite pemilik kapital yang mengesampingkan rakyat yang sejatinya sebagai penentu legitimasi para calon untuk mendapatkan jabatannya.

Peran dan Fungsi Pemilih Sesungguhnya

Kekuasaan yang diperebutkan hanya menjadi milik kepentingan kelas yang menguasai keseluruhan proses demokrasi, dan hal itu hanya berlaku untuk orang-orang yang mempunyai kekuasaan secara nyata yaitu kalangan pemegang saham yang menggerakkan kapital politik.

Seperti yang dikemukakan Walter Lippman, keadaan dimana demokrasi berfungsi dengan baik selalu terdapat kelas masyarakat. Pertama, kelas masyarakat yang memegang peran aktif dalam menjalankan hubungan-hubungan umum. Mereka adalah kelas para ahli. Mereka yang menganalisa, melaksanakan, mengambil keputusan dan menjalankan segala hal di bidang politik, ekonomi dan sistem ideologi. Mereka secara presentasi hanya sedikit. Kedua, ‘orang lain’, adalah mayoritas besar dari populasi, merekalah yang ditasbihkan Lippman sebagai ‘kawanan pandir’. Kawanan ini adalah massa yang bodoh yang tidak dapat dibiarkan memutuskan segala sesuatunya sehingga harus selalu digiring agar dapat menentukan pilihan yang tepat.

Inilah yang sebenarnya sedang terjadi dalam industri politik demokrasi Indonesia. Keseluruhan proses penjaringan ‘bakal calon’ hingga menjadi ‘calon’ dilaksanakan oleh para elite partai politik hanya dengan melihat kemampuan kapital yang dimiliki oleh para peminatnya semata.

Rakyat dalam posisi ini hanya menerima apa yang terjadi. Dibalik keadaan seperti itu tentunya ada logika bahwa publik terlalu bodoh untuk memahami sesuatu. Jika mereka mencoba untuk mengatur urusannya sendiri, maka hanya akan mendatangkan masalah. Kawanan pandir (rakyat, red), yang menurut Lippman berfungsi sebagai ‘pemirsa’ dalam perhelatan demokrasi, bukan sebagai ‘pemain’. Rakyat hanya diijinkan untuk meminjamkan kekuatannya kepada salah satu ‘calon’ yang telah ditetapkan oleh para ‘pemilik kapal politik’. Dengan kata lain, rakyat hanya digunakan untuk mengikrarkan ‘kami ingin anda menjadi pemimpin kami’ atau ‘kami menginginkan anda menjadi pemimpin kami’. Itulah sesungguhnya yang disebut pemilu.

Kemudian, setelah rakyat meminjamkan kekuatannya pada salah satu ’calon’ yang disediakan, rakyat dipersilahkan untuk mundur dan kembali menjadi "penonton". Kondisi ini adalah proses mengabsenkan masyarakat dari proses demokrasi. Jika defenisi demokrasi adalah pemerintah dari rakyat oleh rakyat yang seluruh prosesnya melibatkan rakyat, maka yang hari ini terjadi adalah oligarki dari persengkongkolan antara partai politik dan para pemilik modal yang menggerak industri politik demokrasi.

Rakyat hanya menunggu foto siapa yang layak mereka pajang sebagai "kelayakan" untuk kita pilih. Lalu kemudian rakyat menunggu rasionalisasi korupsi yang akan terjadi setelah pesta usai. Setelahnya rakyat kembali pada rutinitas panggung bosan demokrasi. Inilah sebuah ironi demokrasi yang hanya menghasilkan perputaran uang semata tanpa memperbaiki kondisi negara sedikitpun.

Suatu saat jika terjadi revolusi rakyat, kekuatan itu mungkin dapat meletakkan kita pada tampuk kekuasaan, mungkin juga tidak, dimana kita hanya akan bekerja untuk orang-orang yang mempunyai kekuasaan yaitu kalangan pemilik modal dan partai politik. Akhirnya prinsip-prinsip demokrasi, seperti keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik, tingkat persamaan, kebebasan atau kemerdekaan dan penghormatan terhadap supremasi hukum, dengan sendirinya telah dikebiri oleh demokrasi itu sendiri. Trias politica yang terbagi atas tiga kekuatan, sebagai bentuk distribusi kekuasaan agar tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, bergabung dalam satu kekuatan modal yang meniadakan demokrasi. Demokrasi akhirnya hanya menjadi panggung legitimasi bukan upaya perbaikan rakyat oleh rakyat.***

Oleh: Muhammad Iqbal Damanik.
Penulis aktif di Pusat Pengkajian Komunikasi Massa (P2KM)

Politisi Seperti Pemain Sepakbola

By: Redaksi KluetMedia on Kamis, Februari 07, 2013 / comment : 0

Menjelang Pemilu 2014, perilaku politisi di Indonesia seperti pemain sepakbola profesional. Setiap musim, biasanya pemain sepakbola pindah klub dengan banyak alasan, salah satu di antaranya untuk memperoleh gaji yang lebih tinggi. Pemain sepakbola pindah klub bisa jadi karena prestasinya dari waktu ke waktu semakin meningkat sehingga banyak klub-klub besar yang menawarinya untuk bergabung. Pindah klub pada pemain sepakbola profesional ini rupanya menular kepada para politisi.

Namun beda dengan pemain sepakbola profesional, politisi pindah partai dengan banyak alasan, entah karena mencari suasana baru, bosan di tempat yang lama, tawaran yang lebih menggiurkan, atau di partai lamanya tidak mendapat jabatan dan posisi. Hal demikian membuat mereka migrasi ke partai yang mau menampung atau menawari sehingga saat ini kita lihat bila sebelumnya ada politisi di Partai A, sekarang berada di Partai B, Partai C, atau Partai X.

Bila pemain sepakbola teguh memegang ideologi kapitalisme, semakin cemerlang semakin tinggi nilai transfer, sehingga tak masalah ketika pemain sepakbola pindah ke klub mana saja karena ukurannya uang. Anehnya politisi di Indonesia ukurannya juga kapitalisme dan pragmatisme. Politisi rupanya tetap ingin kaya dari dunia politik. Padahal  politisi sejati adalah orang yang teguh memegang ideologi partai. Akibat seperti ini maka ada politisi yang pindah dari ‘partai kanan’ pindah ke ‘partai kiri’, ada pula yang dari partai kanan ke ‘partai tengah.’ Ini menunjukan pertanyaan besar akan masalah ideologi dasar partai ketika ada orang baru masuk dengan ideologi yang kontras.

Kalau pemain sepakbola mencari bayaran setinggi-tingginya dengan sering pindah klub, itu memang iya, dalam dunia sepakbola profesional memang itu ukuran prestasinya. Namun dalam dunia politik, politisi dan partai tidak boleh hanya merebut kekuasaan namun juga harus memperjuangkan kepentingan rakyat.

Pindah klub oleh pihak manager dianggap akan menguntungkan, misalnya saat Christian Ronaldo dari MU ke Real Madrid, Real Madrid menjadi tim yang sangat kuat dan disegani. Namun hal demikian beda dengan politisi. Pindah partai, dengan syarat dan ukuran yang tak jelas, bisa membuat partai menjadi tercoreng karena ulahnya atau mengalami konflik internal.  Banyak sudah contoh politisi yang pindah partai ternyata mereka hanya menimbulkan masalah.

Dunia sepakbola memang ladang untuk mencari pekerjaan dan duit yang menggiurkan, buktinya banyak orang-orang dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Latin berduyun-duyun ke Indonesia untuk melamar menjadi pemain klub di liga Indonesia, baik ISL atau IPL. Dengan bermain sepakbola mereka berharap mendapat gaji yang besar sehingga mampu mengatasi kebutuhan hidup dan syukur-syukur bisa membantu negaranya yang miskin.

Namun kalau mencari pekerjaan dan untuk meningkatkan taraf hidup dalam dunia politik, nah itu yang kita sesalkan. Untuk mencari kerja dibutuhkan syarat-syarat tertentu agar dapat menghasilkan capaian yang optimal. Trend dalam dunia politik ketika saat ini seorang untuk menjadi politisi, syarat-syaratnya jelas seperti paham soal tata negara dan seluk beluk teori dan praktek politik namun sayangnya syarat-syarat itu sering diabaikan. Politisi yang direkrut hanya lebih mengandalkan pada popularitas dan uang. Ketika syarat-syarat yang ada tidak dipenuhi dan diabaikan maka yang terjadi mereka kerjanya tidak profesional. Syukur kalau tidak membuat ulah, sayangnya mereka malah sering menimbulkan kegaduhan politik seperti melakukan tindak korupsi, tak mampu memperjuangkan aspirasi rakyat, dan melakukan hal-hal yang nyleneh. Hal demikian tentu merugikan tidak hanya untuk partai namun juga rakyat. Ini sangat berbeda dengan pemain sepakbola profesional. Klub yang akan mengontraknya melakukan test kesehatan, ketrampilan, dan uji coba. Hal ini dilakukan agar klub tidak rugi.

Fenomena banyaknya politisi yang pindah partai itu sah-sah saja dan tidak ada aturan yang dilanggarnya namun secara etika itu patut dipertanyakan. Fenomena banyaknya politisi pindah partai menunjukan. Pertama, politisi menjadikan partai hanya untuk mencari kekuasaan. Dari sini niatnya sudah diketahui bahwa mereka berpolitik hanya untuk menjadi anggota parlemen. Kepindahan politisi ke partai yang baru tentu untuk mencari nomer urut caleg yang tepat dan fasilitas yang mendukung agar terpilih kembali menjadi anggota parlemen.

Di sini ada idealisme yang hilang, ada ideologi yang diabaikan, sehingga ketika masalah fungsi-fungsi parlemen seperti pengawasan, anggaran, dan legeslasi, dihadapkan pada mereka, mereka tidak menyikapi dengan idealisme namun secara pragmatisme kekuasaan.

Kedua, partai yang mau ditempati oleh politisi kutu loncat menunjukan partai itu tidak memiliki kaderisasi yang bagus. Bila kaderisasi partai bagus tentu hal demikian tidak akan terjadi sebab partai memiliki kader-kader yang mampu untuk menjadi wakil rakyat. Dalam era di mana masyarakat semakin cerdas, saat ini popularitas sepertinya bukan ukuran. Ketika popularitas artis dijadikan sarana pendulang suara, dan ada yang berhasil namun dalam proses selanjutnya mereka mengecewakan sehingga ada partai yang menyatakan kapok merekrut artis. Dari sinilah kaderisasi yang bagus mampu mengatasi politisi kutu loncat yang hanya bermodalkan popularitas dan uang.

Ketiga, banyaknya politisi yang pindah partai dan partai yang mau menampung mereka menunjukan bahwa dunia politik kita sangat murah. Untuk menjadi politisi ternyata sangat gampang. Murah dan gampangnya dunia politik inilah yang membuat politisi sering menyepelekan partai. Politisi kapan saja bisa meloncat ke tempat yang lain. Padahal secara teori partai merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan demikian saat ini banyak politisi yang menyepelekan alat perjuangan rakyat. Pantas saja rakyat tidak pernah diperjuangkan.

Ardi Winangun
Pengamat Sosial-Politik

Artis Vs Tokoh Agama atau Pejabat, Ketika Tersandung Kasus!

By: Redaksi KluetMedia on Rabu, Februari 06, 2013 / comment : 0

EDITORIAL - Narkoba vs Sapi, adalah dua hal yang sama-sama ngehit, yang satu melanda seorang artis yakni Raffi Ahmad dan yang satu adalah eks presiden PKS yakni Luthfi Hasan Ishaaq. Artis Vs Tokoh Agama atau Pejabat, Ketika Tersandung Kasus! gitu ternyata membuahkan kesan yang berbeda.

Kalau kasusnya Raffi Ahmad itu seolah adalah hal yang memprihatinkan sehingga banyak teman sesama artis yang diliput media atau fans-nya itu tidak percaya kalau si Raffi itu pengguna obat yang anu-anu gitu, terus ada yang menyebar pesan juga bahwa itu pengrebekan hanyalah jebakan dan lain sebagainya sehingga seolah banyak yang berharap si Raffi segera lepas dari kasusnya dan bisa kembali berkarya.

Nah, kalau kasusnya pak Luthfi itu seolah adalah hal yang munafik sehingga banyak hujatan dari masyarakat, karena mungkin kan masyarakat menganggap partai atau mungkin pak Luthfi nya itu adalah tokoh yang agamis, sehingga tentu dianggap buruk banget kalau sampai melakukan korupsi.

Kalau dipikir-pikir narkoba sama korupsi itu sama-sama buruk, tapi efek sosialnya bisa beda? ya mungkin karena tokohnya, yang satu artis dan yang satu tokoh yang agamis. Andai saja itu yang terkena kasus narkoba adalah seorang pejabat di Polri atau anggota DPR, pasti ya efek sosialnya bakal lebih buruk dari kasus si Raffi.

Artis Vs Tokoh Agama atau Pejabat, Ketika Tersandung Kasus! contoh lainnya adalah Ariel Vs Aa Gym. Si Ariel kena kasus video porno dengan mantan pacar dan teman artisnya yakni Luna Maya dan Cut Tari. Videonya sudah tersebar luas dan Ariel pun harus dibui karena aksi video pornonya. Tapi bagaimanakah efek sosialnya? yah, masih dipuja-puja kan? bahkan setelah keluar dari bui justru seolah makin fenomenal. Kalau Aa Gym gara-gara Poligami langsung wussss, penggemarnya merosot tajam. Mungkin anda pernah lihat gambar seperti dibawah ini, aku lihatnya difacebook sih:

Andai yang kesandung kasus video porno itu pejabat apa gitu, pasti langsung didemo abis-abisan.

Lalu kenapa bisa begitu ya? kalau yang kesandung kasus artis bahkan sampai dipenjara sekalipun begitu keluar langsung disambut dengan penuh rindu, kemudian kembali menghiasi layar tv dengan gayanya, seolah tidak ada kusus apapun sebelumnya. Mungkin kalau artis itu, orang menikmatinya sebagai penghibur gitu kali ya, misal dari:
  •     Lagu-lagunya
  •     Tampangnya yang ganteng atau cantik
  •     Atau apanya gitu.

Nah, kalau tokoh agama atau pejabat gitu mungkin masyarakat berharapnya mereka semua (pejabat/tokoh agama) itu adalah manusia yang super sekali tanpa cacat kasus apapun dan ketika ketahuan tersandung kasus masyarakat gak bisa terima begitu saja.

Ah…Entahlah… untuk hal ini antara Artis Vs Tokoh Agama atau Pejabat, Ketika Tersandung Kasus! aku bingung, kok bisa begitu? kok bisa begitu? kok bisa begitu? Betewe, kenapa aku mikirin kayak beginian? Entahlah, cuma sekedar ingin update blog saja kok….

Salam Ketak-Ketik “Kasus Artis Vs Kasus Pejabat” dari pojokan ….