EDITORIAL - Sebanyak 1.200 lebih bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dari 15 partai politik nasional dan lokal sudah secara resmi mendaftar ke Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Para bakal calon legislator yang akan bertarung memperebutkan 81 kursi DPRA pada Pemilu Legislatif 2014, ternyata sebagian besar ternyata wajah-wajah baru yang belum cukup dikenal masyarakat.
Wajah baru bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Tapi, bagi masyarakat, memilih para pendatang baru itu memang ada unsur “gambling” di dalamnya. Tapi, dibanding berharap pada wajah-wajah yang pernah mengecewakan, tantu tidak salah berharap pada muka-muka baru yang penuh harapan.
Begitpun, para pakar politik dan pegiat demokrasi jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita semua supaya mencermati setiap tahapan pencalonan legislatif oleh parpol-parpol maupun KIP. Kecermatan itu diperlukan untuk memastikan bahwa caleg yang maju bukan politisi bermasalah hukum, moral, maupun intelektual.
Seorang aktivis pemberdayaan politik masyarakat mengatakan, parpol-parpol sejak awal tidak kuat dalam peran-peran fungsi politiknya, misalnya pendidikan politik, kemudian menyerap aspirasi publik. Karenanya pada tahapan pencalegan terasa berat bagi banyak pengurus parpol. Apalagi, orientasi para caleg itu cuma dua, yakni popularitas dan uang.
Makanya, karena kita ingin perlemen kita di semua level akan kuat guna memberikan kontribusi besar bagi masyarakat, maka sosialisasi caleg ke publik harus terbuka dan meluas. Ini sangat penting agar masyarakat tahu apakah seseorang itu jadi caleg karena memang berkualitas atau karena punya uang dan koneksi dengan elit parpol.
Di mana-mana sekarang lagi musim caleg “jatuh dari langit”. Ini dimaksudkan sebagai orang tidak membumi tiba-tiba muncul di nomor urut yang dianggap jadi.
Hal lain yang kita pandang sangat penting adalah masalah etika para caleg dan parpol dalam “berperang”. Walau belum terlalu deras, saat ini proses sosialisasi diri para bakal calon sudah mulai menghangatkan suasana. Di banyak kesempatan, para bakal caleg mulai “menjual” diri.
Bersamaan dengan maraknya gerakan pendekatan yang dilakukan sejumlah caleg untuk meraih simpati masyarakat, tak jarang muncul pula aksi kampanye hitam (black campaign) untuk menjatuhkan caleg lainnya. Cara-cara seperti ini memang sangat mencemaskan kita yang sedang menikmati Aceh dalam suasana kondusif. Fitnah dan semacamnya yang mengarah kepada kampanye hitam ini, selain tidak beretika, juga dapat menganggu stabilitas politik. Dalam momen seperti ini, semua pihak mampu menjaga kondisi yang ada sehingga perhelatan demokrasi dapat tetap berkualitas.(serambi)
Wajah baru bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Tapi, bagi masyarakat, memilih para pendatang baru itu memang ada unsur “gambling” di dalamnya. Tapi, dibanding berharap pada wajah-wajah yang pernah mengecewakan, tantu tidak salah berharap pada muka-muka baru yang penuh harapan.
Begitpun, para pakar politik dan pegiat demokrasi jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita semua supaya mencermati setiap tahapan pencalonan legislatif oleh parpol-parpol maupun KIP. Kecermatan itu diperlukan untuk memastikan bahwa caleg yang maju bukan politisi bermasalah hukum, moral, maupun intelektual.
Seorang aktivis pemberdayaan politik masyarakat mengatakan, parpol-parpol sejak awal tidak kuat dalam peran-peran fungsi politiknya, misalnya pendidikan politik, kemudian menyerap aspirasi publik. Karenanya pada tahapan pencalegan terasa berat bagi banyak pengurus parpol. Apalagi, orientasi para caleg itu cuma dua, yakni popularitas dan uang.
Makanya, karena kita ingin perlemen kita di semua level akan kuat guna memberikan kontribusi besar bagi masyarakat, maka sosialisasi caleg ke publik harus terbuka dan meluas. Ini sangat penting agar masyarakat tahu apakah seseorang itu jadi caleg karena memang berkualitas atau karena punya uang dan koneksi dengan elit parpol.
Di mana-mana sekarang lagi musim caleg “jatuh dari langit”. Ini dimaksudkan sebagai orang tidak membumi tiba-tiba muncul di nomor urut yang dianggap jadi.
Hal lain yang kita pandang sangat penting adalah masalah etika para caleg dan parpol dalam “berperang”. Walau belum terlalu deras, saat ini proses sosialisasi diri para bakal calon sudah mulai menghangatkan suasana. Di banyak kesempatan, para bakal caleg mulai “menjual” diri.
Bersamaan dengan maraknya gerakan pendekatan yang dilakukan sejumlah caleg untuk meraih simpati masyarakat, tak jarang muncul pula aksi kampanye hitam (black campaign) untuk menjatuhkan caleg lainnya. Cara-cara seperti ini memang sangat mencemaskan kita yang sedang menikmati Aceh dalam suasana kondusif. Fitnah dan semacamnya yang mengarah kepada kampanye hitam ini, selain tidak beretika, juga dapat menganggu stabilitas politik. Dalam momen seperti ini, semua pihak mampu menjaga kondisi yang ada sehingga perhelatan demokrasi dapat tetap berkualitas.(serambi)