sponsor

sponsor

Slider

LINTAS NANGGROE

LINTAS ACEH SELATAN

INFO GURU DAN CPNS

Pasang Iklan Murah Hanya Disini !

INFO PENDIDIKAN

LINTAS ARENA

R A G A M

INFO KAMPUS

Gallery

» » "Disfungsi" Demokrasi

Silks demokrasi Indonesia pasca reformasi sudah berjalan tiga kali putaran. Tiga kali pergantian presiden dan anggota dewan, bersamaan dengan itu tak terhitung lagi jumlah pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota yang berlangsung di seluruh daerah di Indonesia. Proses pemilihan di tiap daerah yang berbeda waktu penyelenggaraannya membuat media sepertinya tidak pernah memiliki jeda untuk memberitakan perhelatan pergantian kepala daerah. Pemilihan terakhir yang masih hangat dibicarakan bahkan memunculkan fenomena dan euforia tersendiri yaitu pemilihan gubernur DKI Jakarta, kemudian yang menanti ke depannya pemilihan gubernur Jawa Barat dan gubernur Sumatera Utara.

Fenomena estafet pemilihan kepala daerah ini memunculkan gejala massif di seluruh daerah; munculnya industri politik demokrasi. Istilah membeli kapal politik, politik dagang sapi, hasil survei politik, elektabilitas politik, selalu memenuhi kosakata perhelatan pemilihan di tiap daerah. Setiap kali pemilihan kepala daerah/kota digelar di tiap daerah, industri politik demokrasi mulai bergeliat. Kapital yang dikeluarkan industri musiman ini bahkan bisa mengalahkan kapital seluruh industri riil atau finansial di Indonesia. Mulai dari melibatkan usaha spanduk dan kaos sablon, pembagian sembako, pembagian uang ratusan ribu untuk tiap warga yang dikunjungi, iklan politik di media cetak dan elektronik, sampai konsultasi politik, jual beli partai politik atau jual beli KTP agar dapat turut serta dalam kontestasi pemilu.

Keseluruhan industri politik demokrasi ini tentunya melibatkan berbagai perusahaan atau perorangan terbuka yang sahamnya dipegang kaum cukong, anggota parlemen, pemerintah dan ormas-ormas. Bisa dikatakan industri politik demokrasi adalah industri yang paling berkembang di Indonesia, sekaligus paling menjanjikan dan paling membangkrutkan. Jika ada industri yang paling gila dengan tingkat loyalitas dan pengkhianatan dengan porsi yang sama besar, dan setiap pelakunya memiliki kerelaan yang sangat tinggi dalam aduan, tidak lain dan tidak bukan adalah industri politik demokrasi. Karena dalam setiap perhelatan pemilihan seseorang yang masih menyandang status ‘bakal calon’ harus mengeluarkan banyak modal untuk sosialisasi sampai mendapatkan kepastian dirinya akan naik status menjadi ‘calon’. Seluruh proses ini sejatinya hanya berlangsung pada tingkat segelintir elite pemilik kapital yang mengesampingkan rakyat yang sejatinya sebagai penentu legitimasi para calon untuk mendapatkan jabatannya.

Peran dan Fungsi Pemilih Sesungguhnya

Kekuasaan yang diperebutkan hanya menjadi milik kepentingan kelas yang menguasai keseluruhan proses demokrasi, dan hal itu hanya berlaku untuk orang-orang yang mempunyai kekuasaan secara nyata yaitu kalangan pemegang saham yang menggerakkan kapital politik.

Seperti yang dikemukakan Walter Lippman, keadaan dimana demokrasi berfungsi dengan baik selalu terdapat kelas masyarakat. Pertama, kelas masyarakat yang memegang peran aktif dalam menjalankan hubungan-hubungan umum. Mereka adalah kelas para ahli. Mereka yang menganalisa, melaksanakan, mengambil keputusan dan menjalankan segala hal di bidang politik, ekonomi dan sistem ideologi. Mereka secara presentasi hanya sedikit. Kedua, ‘orang lain’, adalah mayoritas besar dari populasi, merekalah yang ditasbihkan Lippman sebagai ‘kawanan pandir’. Kawanan ini adalah massa yang bodoh yang tidak dapat dibiarkan memutuskan segala sesuatunya sehingga harus selalu digiring agar dapat menentukan pilihan yang tepat.

Inilah yang sebenarnya sedang terjadi dalam industri politik demokrasi Indonesia. Keseluruhan proses penjaringan ‘bakal calon’ hingga menjadi ‘calon’ dilaksanakan oleh para elite partai politik hanya dengan melihat kemampuan kapital yang dimiliki oleh para peminatnya semata.

Rakyat dalam posisi ini hanya menerima apa yang terjadi. Dibalik keadaan seperti itu tentunya ada logika bahwa publik terlalu bodoh untuk memahami sesuatu. Jika mereka mencoba untuk mengatur urusannya sendiri, maka hanya akan mendatangkan masalah. Kawanan pandir (rakyat, red), yang menurut Lippman berfungsi sebagai ‘pemirsa’ dalam perhelatan demokrasi, bukan sebagai ‘pemain’. Rakyat hanya diijinkan untuk meminjamkan kekuatannya kepada salah satu ‘calon’ yang telah ditetapkan oleh para ‘pemilik kapal politik’. Dengan kata lain, rakyat hanya digunakan untuk mengikrarkan ‘kami ingin anda menjadi pemimpin kami’ atau ‘kami menginginkan anda menjadi pemimpin kami’. Itulah sesungguhnya yang disebut pemilu.

Kemudian, setelah rakyat meminjamkan kekuatannya pada salah satu ’calon’ yang disediakan, rakyat dipersilahkan untuk mundur dan kembali menjadi "penonton". Kondisi ini adalah proses mengabsenkan masyarakat dari proses demokrasi. Jika defenisi demokrasi adalah pemerintah dari rakyat oleh rakyat yang seluruh prosesnya melibatkan rakyat, maka yang hari ini terjadi adalah oligarki dari persengkongkolan antara partai politik dan para pemilik modal yang menggerak industri politik demokrasi.

Rakyat hanya menunggu foto siapa yang layak mereka pajang sebagai "kelayakan" untuk kita pilih. Lalu kemudian rakyat menunggu rasionalisasi korupsi yang akan terjadi setelah pesta usai. Setelahnya rakyat kembali pada rutinitas panggung bosan demokrasi. Inilah sebuah ironi demokrasi yang hanya menghasilkan perputaran uang semata tanpa memperbaiki kondisi negara sedikitpun.

Suatu saat jika terjadi revolusi rakyat, kekuatan itu mungkin dapat meletakkan kita pada tampuk kekuasaan, mungkin juga tidak, dimana kita hanya akan bekerja untuk orang-orang yang mempunyai kekuasaan yaitu kalangan pemilik modal dan partai politik. Akhirnya prinsip-prinsip demokrasi, seperti keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik, tingkat persamaan, kebebasan atau kemerdekaan dan penghormatan terhadap supremasi hukum, dengan sendirinya telah dikebiri oleh demokrasi itu sendiri. Trias politica yang terbagi atas tiga kekuatan, sebagai bentuk distribusi kekuasaan agar tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, bergabung dalam satu kekuatan modal yang meniadakan demokrasi. Demokrasi akhirnya hanya menjadi panggung legitimasi bukan upaya perbaikan rakyat oleh rakyat.***

Oleh: Muhammad Iqbal Damanik.
Penulis aktif di Pusat Pengkajian Komunikasi Massa (P2KM)

Tulislah Pendapatmu tentang Artikel diatas.

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama