Sejauh ini terdapat sekitar 10 Partai
Politik Nasional (Parpolnas) dan tiga Partai Lokal (Parlok) yang akan
bersaing memperebutkan kursi DPR, DPRA dan DPRK dalam Pemilu Legislatif
yang berlangsung serentak pada April 2014 mendatang.
Untuk Parpolnas masing-masing, Partai
NasDem, PKB, PKS, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Gerindra, PD, PAN, PPP
dan Hanura. Sementara parlok masing-masing, PA, PNA dan PDA.
Semua parpol dan parlok terlihat sudah
mulai sibuk mendesain aneka model penjaringan caleg supaya bisa memenuhi
kuota 3-12 kursi tiap dapil untuk DPRA dan kabupaten/kota, serta 3-10
kursi untuk DPR, termasuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan pada
tiap dapil.
Dalam memenuhi target itu, parpol dan
parlok mulai membuka kesempatan kepada masyarakat dan kalangan internal
sendiri, tokoh masyarakat bahkan ulama untuk melamar.
Terlihat sejumlah pengusaha, birokrat,
akademisi, termasuk ibu rumah tangga, sudah mengambil ancang-ancang
untuk ikut meramaikan bursa.
Tentu pula kader-kader internal parpol
atau parlok yang memiliki prospek elektoral dan bergizi tinggi, atau
mareka yang berpengaruh dalam partai. Namun pengalaman dalam Pemilu 2009
lalu terhadap penjaringan yang dilakukan, baik parpolnas maupun parlok
belum mampu melembagakan pengkaderan caleg dari internal. Akibatnya,
lompat pagar tak terhindarkan.
Maka tak heran pula bila pola
pelembagaan sistem kepartaian di Aceh dinilai buruk, karena hanya akan
melahirkan politikus karbitan dan instan.
Merekrut politikus karbitan dipastikan
hanya menjaring sumber daya opurtunis. Karena mareka tidak lahir dari
proses dan dinamika berorganisasi, pada parpol secara simultan dan
berjenjang.
Pola ini amat memprihatinkan karena parpol dan parlok hanya memberi jatah kepada caleg yang bersedia menyumbangkan gizi tinggi.
Kader internal yang potensial, namun tak
memiliki cukup gizi tersingkir dari pencalonan. Pola ini bukan saja
kian meminggirkan peran kader internal parpol, melainkan juga kian
tersanderanya parpol oleh politik transaksional yang materialistik.
Ini pula yang telah mengkhawatirkan
banyak orang dalam Pemilu 2014 di Aceh nanti, parpol hanya mengkemaskan
caleg mareka yang memiliki tingkat popularitas, jaringan sosial luas
serta segunung uang, untuk menjadi vote getter pada tiap dapil.
Tidak ada yang bisa memungkiri bila
mareka-mareka yang pop tadi akan mendominasi Pemilu 2014. Profesi lain
biar memiliki ilmu lebih minggir saja.
Fakta ini menunjukkan orientasi parpol
dalam menjaring caleg tidak hendak memperbaiki kualitas anggota DPR,
DPRA atau DPRK, karena lebih mengutamakan kemenangan dengan meraup suara
dengan banyak uang.
Bukan mereka dari kalangan profisional
parpol atau parlok di Aceh tidak pernah mempersiapkan caleg-caleg untuk
pemilu dengan mendasarkan pada pemenuhan persyaratan moral, pengetahuan
akan kebajikan untuk kepentingan umum, keahlian teknis atau
instrumental yang diperlukan guna mengemban tugasnya sebagai pejabat
legislatif.
Barangkali kalangan parpol dan parlok di
Aceh kini sudah saatnya melakukan kontemplasi total melalui introspeksi
dan retrospeksi tentang kebijakan yang telah, sedang, dan yang akan
dirancang dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Paradigma perlu
redefinisi, reorientasi, dan revitalisasi perilaku pimpinan politik yang
berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak.
Firman Allah SWT; "Kami telah menjadikan
mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan
kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah
mereka selalu menyembah. (Q.S Al Anbiyaa’ 21 : 73 ).
Berlandaskan ayat di atas, bahwa seorang
pejabat adalah orang-orang terpilih dan telah digariskan oleh Allah SWT
menjadi pemimpin.
Pemimpin negara, daerah atau lembaga
apapun bentuk dan wujudnya harus mengetahui fungsi dan tugas yang
diemban. Karena menjadi seorang pejabat, semua yang dilakukan akan
dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. (Usman Cut Raja)