sponsor

sponsor

Slider

LINTAS NANGGROE

LINTAS ACEH SELATAN

INFO GURU DAN CPNS

Pasang Iklan Murah Hanya Disini !

INFO PENDIDIKAN

LINTAS ARENA

R A G A M

INFO KAMPUS

Gallery

» » Politisi Seperti Pemain Sepakbola
Redaksi KluetMedia

Menjelang Pemilu 2014, perilaku politisi di Indonesia seperti pemain sepakbola profesional. Setiap musim, biasanya pemain sepakbola pindah klub dengan banyak alasan, salah satu di antaranya untuk memperoleh gaji yang lebih tinggi. Pemain sepakbola pindah klub bisa jadi karena prestasinya dari waktu ke waktu semakin meningkat sehingga banyak klub-klub besar yang menawarinya untuk bergabung. Pindah klub pada pemain sepakbola profesional ini rupanya menular kepada para politisi.

Namun beda dengan pemain sepakbola profesional, politisi pindah partai dengan banyak alasan, entah karena mencari suasana baru, bosan di tempat yang lama, tawaran yang lebih menggiurkan, atau di partai lamanya tidak mendapat jabatan dan posisi. Hal demikian membuat mereka migrasi ke partai yang mau menampung atau menawari sehingga saat ini kita lihat bila sebelumnya ada politisi di Partai A, sekarang berada di Partai B, Partai C, atau Partai X.

Bila pemain sepakbola teguh memegang ideologi kapitalisme, semakin cemerlang semakin tinggi nilai transfer, sehingga tak masalah ketika pemain sepakbola pindah ke klub mana saja karena ukurannya uang. Anehnya politisi di Indonesia ukurannya juga kapitalisme dan pragmatisme. Politisi rupanya tetap ingin kaya dari dunia politik. Padahal  politisi sejati adalah orang yang teguh memegang ideologi partai. Akibat seperti ini maka ada politisi yang pindah dari ‘partai kanan’ pindah ke ‘partai kiri’, ada pula yang dari partai kanan ke ‘partai tengah.’ Ini menunjukan pertanyaan besar akan masalah ideologi dasar partai ketika ada orang baru masuk dengan ideologi yang kontras.

Kalau pemain sepakbola mencari bayaran setinggi-tingginya dengan sering pindah klub, itu memang iya, dalam dunia sepakbola profesional memang itu ukuran prestasinya. Namun dalam dunia politik, politisi dan partai tidak boleh hanya merebut kekuasaan namun juga harus memperjuangkan kepentingan rakyat.

Pindah klub oleh pihak manager dianggap akan menguntungkan, misalnya saat Christian Ronaldo dari MU ke Real Madrid, Real Madrid menjadi tim yang sangat kuat dan disegani. Namun hal demikian beda dengan politisi. Pindah partai, dengan syarat dan ukuran yang tak jelas, bisa membuat partai menjadi tercoreng karena ulahnya atau mengalami konflik internal.  Banyak sudah contoh politisi yang pindah partai ternyata mereka hanya menimbulkan masalah.

Dunia sepakbola memang ladang untuk mencari pekerjaan dan duit yang menggiurkan, buktinya banyak orang-orang dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Latin berduyun-duyun ke Indonesia untuk melamar menjadi pemain klub di liga Indonesia, baik ISL atau IPL. Dengan bermain sepakbola mereka berharap mendapat gaji yang besar sehingga mampu mengatasi kebutuhan hidup dan syukur-syukur bisa membantu negaranya yang miskin.

Namun kalau mencari pekerjaan dan untuk meningkatkan taraf hidup dalam dunia politik, nah itu yang kita sesalkan. Untuk mencari kerja dibutuhkan syarat-syarat tertentu agar dapat menghasilkan capaian yang optimal. Trend dalam dunia politik ketika saat ini seorang untuk menjadi politisi, syarat-syaratnya jelas seperti paham soal tata negara dan seluk beluk teori dan praktek politik namun sayangnya syarat-syarat itu sering diabaikan. Politisi yang direkrut hanya lebih mengandalkan pada popularitas dan uang. Ketika syarat-syarat yang ada tidak dipenuhi dan diabaikan maka yang terjadi mereka kerjanya tidak profesional. Syukur kalau tidak membuat ulah, sayangnya mereka malah sering menimbulkan kegaduhan politik seperti melakukan tindak korupsi, tak mampu memperjuangkan aspirasi rakyat, dan melakukan hal-hal yang nyleneh. Hal demikian tentu merugikan tidak hanya untuk partai namun juga rakyat. Ini sangat berbeda dengan pemain sepakbola profesional. Klub yang akan mengontraknya melakukan test kesehatan, ketrampilan, dan uji coba. Hal ini dilakukan agar klub tidak rugi.

Fenomena banyaknya politisi yang pindah partai itu sah-sah saja dan tidak ada aturan yang dilanggarnya namun secara etika itu patut dipertanyakan. Fenomena banyaknya politisi pindah partai menunjukan. Pertama, politisi menjadikan partai hanya untuk mencari kekuasaan. Dari sini niatnya sudah diketahui bahwa mereka berpolitik hanya untuk menjadi anggota parlemen. Kepindahan politisi ke partai yang baru tentu untuk mencari nomer urut caleg yang tepat dan fasilitas yang mendukung agar terpilih kembali menjadi anggota parlemen.

Di sini ada idealisme yang hilang, ada ideologi yang diabaikan, sehingga ketika masalah fungsi-fungsi parlemen seperti pengawasan, anggaran, dan legeslasi, dihadapkan pada mereka, mereka tidak menyikapi dengan idealisme namun secara pragmatisme kekuasaan.

Kedua, partai yang mau ditempati oleh politisi kutu loncat menunjukan partai itu tidak memiliki kaderisasi yang bagus. Bila kaderisasi partai bagus tentu hal demikian tidak akan terjadi sebab partai memiliki kader-kader yang mampu untuk menjadi wakil rakyat. Dalam era di mana masyarakat semakin cerdas, saat ini popularitas sepertinya bukan ukuran. Ketika popularitas artis dijadikan sarana pendulang suara, dan ada yang berhasil namun dalam proses selanjutnya mereka mengecewakan sehingga ada partai yang menyatakan kapok merekrut artis. Dari sinilah kaderisasi yang bagus mampu mengatasi politisi kutu loncat yang hanya bermodalkan popularitas dan uang.

Ketiga, banyaknya politisi yang pindah partai dan partai yang mau menampung mereka menunjukan bahwa dunia politik kita sangat murah. Untuk menjadi politisi ternyata sangat gampang. Murah dan gampangnya dunia politik inilah yang membuat politisi sering menyepelekan partai. Politisi kapan saja bisa meloncat ke tempat yang lain. Padahal secara teori partai merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan demikian saat ini banyak politisi yang menyepelekan alat perjuangan rakyat. Pantas saja rakyat tidak pernah diperjuangkan.

Ardi Winangun
Pengamat Sosial-Politik

Tulislah Pendapatmu tentang Artikel diatas.

«
Next
SNMPTN 2013, Guru Harus Profesional Memberi Nilai
»
Previous
Inilah Deretan 10 Kampus Top Diindonesia