KLUETMEDIA | BUDAYA - Menyebut Kluet sekarang ini menjadi lebih akrab di telinga masyarakat Aceh Selatan. Pasalnya, sejak akhir 1980-an, masyarakat Aceh Selatan dipimpin secara berturut-turut oleh putra asal Kluet. Sebut saja (alm) Sayed Mudhahar Ahmad, lalu MS Sari Subki, kemudian HT Machsalmina Ali selama 10 tahun dan sekarang Husin Yusuf.
Atas keberadaan putra Kluet itulah, daerah Kluet menjadi lebih popupler dan bahkan sekarang ini mulai ditabalkan sebagai Kluet Raya dengan wilayah yang terdiri dari lima kecamatan yakni Pasie Raja, Kluet Utara, Kluet Tengah, Kluet Selatan dan Kluet Timur.
Kita tidak hendak membahas masalah pemerintahan dan keterkaitannya dengan profil pemimpin yang "kebetulan" berasal dari Kluet, melainkan menceritakan sekilas bagaimana masyarakat Kluet mampu menjaga tradisinya terutama menjelang puasa Ramadhan.
Tradisi itu mungkin saja ditemukan di daerah lain di Aceh. Namun, untuk kelestariannya, bisa jadi tidak terjaga karena pengaruh budaya dan modernisasi kehidupan. Saat ini, masyarakat Kluet juga mengenal dunia maya menyusul merasuknya dunia internet di pelosok pedesaan Kluet, namun sebagian masyarakatnya tetap menjaga budaya nenek moyangnya.
Adalah tradisi meulemang yang hingga sekarang masih lestari. Tradisi ini dirayakan dua hari sebelum datangnya bulan puasa Ramadhan. Tradisi ini lebih unik saat salah seorang anggota keluarga baru saja mendapatkan jodoh.
Bagi pengantin pria, meulemang merupakan suatu hal yang menyibukkan sekaligus mengasyikkan. Karena, keluarga pengantin pria harus menyiapkan masakan lemang dalam jumlah lebih banyak untuk dibagi-bagikan kepada kaum kerabat. Mandi meurimo, pada daerah lain disebut juga mandi balimau (Singkil dan Padang), tetap dijumpai di pedalaman Kluet seperti di Lawesawah Kecamatan Kluet Timur.
Tradisi yang disebut ridi mpangir, yaitu mandi bersuci dengan jeruk purut, memang sudah jarang ditemukan. Akan tetapi bagi sebagian masyarakat Kluet di pedalaman Kluet Raya, masih tetap dijumpai. Mereka beramai-ramai mandi di sungai yang membentang di perkampungan dan sungai Kluet/Mungkap yang jernih dan berarus deras.
"Kalau melanggengkan acara tradisi memang Kluet Timur yang masih kental terutama di Payadapur dan Lawesawah," kata Saleh, seorang pemerhati tradisi-budaya lokal.
Kita tidak hendak membahas masalah pemerintahan dan keterkaitannya dengan profil pemimpin yang "kebetulan" berasal dari Kluet, melainkan menceritakan sekilas bagaimana masyarakat Kluet mampu menjaga tradisinya terutama menjelang puasa Ramadhan.
Tradisi itu mungkin saja ditemukan di daerah lain di Aceh. Namun, untuk kelestariannya, bisa jadi tidak terjaga karena pengaruh budaya dan modernisasi kehidupan. Saat ini, masyarakat Kluet juga mengenal dunia maya menyusul merasuknya dunia internet di pelosok pedesaan Kluet, namun sebagian masyarakatnya tetap menjaga budaya nenek moyangnya.
Adalah tradisi meulemang yang hingga sekarang masih lestari. Tradisi ini dirayakan dua hari sebelum datangnya bulan puasa Ramadhan. Tradisi ini lebih unik saat salah seorang anggota keluarga baru saja mendapatkan jodoh.
Bagi pengantin pria, meulemang merupakan suatu hal yang menyibukkan sekaligus mengasyikkan. Karena, keluarga pengantin pria harus menyiapkan masakan lemang dalam jumlah lebih banyak untuk dibagi-bagikan kepada kaum kerabat. Mandi meurimo, pada daerah lain disebut juga mandi balimau (Singkil dan Padang), tetap dijumpai di pedalaman Kluet seperti di Lawesawah Kecamatan Kluet Timur.
Tradisi yang disebut ridi mpangir, yaitu mandi bersuci dengan jeruk purut, memang sudah jarang ditemukan. Akan tetapi bagi sebagian masyarakat Kluet di pedalaman Kluet Raya, masih tetap dijumpai. Mereka beramai-ramai mandi di sungai yang membentang di perkampungan dan sungai Kluet/Mungkap yang jernih dan berarus deras.
"Kalau melanggengkan acara tradisi memang Kluet Timur yang masih kental terutama di Payadapur dan Lawesawah," kata Saleh, seorang pemerhati tradisi-budaya lokal.
Meuleumang
Tradisi meulemang, tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan tradisional mereka yang berasal dari Kluet. Sehingga, jika pun warga Kluet yang berdomisili di perkotaan, misalnya Tapaktuan dan Samadua serta kota-kota lain, namun masakan lemang tetap diminatinya.
Jika mereka tidak sempat mudik, cukup memesan kepada sanak familinya untuk mengirimkan makanan tradisional itu.
Masih cerita meulemang, pada tempo dulu, warga Kluet sampai bergotong-royong memasak lemang. Apalagi masih adanya makanan tradisional yang saat ini sudah langka, bahkan punah, yaitu makanan ikan mentah yang disimpan terlebih dahulu di dalam potongan bambu. Masyarakat di sana menyebutnya makanan plong yang diolah dengan ramuan khusus.
Wariwarayo
Episode kedua masak lemang yakni ketika akan memasuki bulan Syawal atau Hariraya Idulfitri, di Kluet disebut wari warayo.
Satu hari sebelum Idul Fitri, lemang kembali dimasak untuk dibagikan lagi kepada kaum kerabat dan bertukar. Khusus bagi pengantin pria dan wanita, lemangnya dibagi-bagikan kepada sanak famili sebagai isyarat bahwa mereka adalah kerabat dekat dan calon keluarga yang akan dikunjungi ketika lebaran.
Sebelumnya, pada hari 27 Ramadhan, masyarakat Kluet terutama masyarakat yang baru saja menikahkan anaknya, membuat masakan peneungot, jenis masakan yang sama dengan kolak namun bahannya lebih lengkap dengan bahan-bahan hasil pertanian (pangan).
Peuenengot itu juga dibagi-bagikan kepada keluarga, handaitolan, dan kaum kerabat sebagai pertanda persaudaraan dan memberi isyarat bahwa mereka baru saja mendapat "tamu" dari peristiwa perkawinan.
Bagi masyarakat sekarang, tradisi itu menjadi lemah keberadaannya. Sehingga, jika masih ada sebagian masyarakat Kluet yang melanggengkan tradisi itu adalah sebuah upaya pelestarian yang patut diapresiasi.
Tradisi meulemang, tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan tradisional mereka yang berasal dari Kluet. Sehingga, jika pun warga Kluet yang berdomisili di perkotaan, misalnya Tapaktuan dan Samadua serta kota-kota lain, namun masakan lemang tetap diminatinya.
Jika mereka tidak sempat mudik, cukup memesan kepada sanak familinya untuk mengirimkan makanan tradisional itu.
Masih cerita meulemang, pada tempo dulu, warga Kluet sampai bergotong-royong memasak lemang. Apalagi masih adanya makanan tradisional yang saat ini sudah langka, bahkan punah, yaitu makanan ikan mentah yang disimpan terlebih dahulu di dalam potongan bambu. Masyarakat di sana menyebutnya makanan plong yang diolah dengan ramuan khusus.
Wariwarayo
Episode kedua masak lemang yakni ketika akan memasuki bulan Syawal atau Hariraya Idulfitri, di Kluet disebut wari warayo.
Satu hari sebelum Idul Fitri, lemang kembali dimasak untuk dibagikan lagi kepada kaum kerabat dan bertukar. Khusus bagi pengantin pria dan wanita, lemangnya dibagi-bagikan kepada sanak famili sebagai isyarat bahwa mereka adalah kerabat dekat dan calon keluarga yang akan dikunjungi ketika lebaran.
Sebelumnya, pada hari 27 Ramadhan, masyarakat Kluet terutama masyarakat yang baru saja menikahkan anaknya, membuat masakan peneungot, jenis masakan yang sama dengan kolak namun bahannya lebih lengkap dengan bahan-bahan hasil pertanian (pangan).
Peuenengot itu juga dibagi-bagikan kepada keluarga, handaitolan, dan kaum kerabat sebagai pertanda persaudaraan dan memberi isyarat bahwa mereka baru saja mendapat "tamu" dari peristiwa perkawinan.
Bagi masyarakat sekarang, tradisi itu menjadi lemah keberadaannya. Sehingga, jika masih ada sebagian masyarakat Kluet yang melanggengkan tradisi itu adalah sebuah upaya pelestarian yang patut diapresiasi.
oleh: Masyuluddin