TAPAKTUAN - Banjir yang merendam wilayah barat selatan Aceh sejak beberapa hari terakhir telah memorakporandakan berbagai infrastruktur publik dan memunculkan beragam persoalan sosial maupun ekonomi.
Berbagai pihak berharap penanganan pascabencana harus didasari pendataan akurat agar tidak memunculkan masalah baru.
Di Kabupaten Aceh Selatan, banjir tidak hanya memorakporandakan infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, sekolah, saluran irigasi, dan lain-lain tetapi juga melumpuhkan ekonomi serta munculnya beragam persoalan sosial.
Di Kabupaten Aceh Selatan, banjir tidak hanya memorakporandakan infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, sekolah, saluran irigasi, dan lain-lain tetapi juga melumpuhkan ekonomi serta munculnya beragam persoalan sosial.
“Tak sedikit masyarakat yang kehilangan tempat tinggal dan hancurnya sendi-sendi ekonomi seperti di sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan. Penanganan pascabencana harus menjadi prioritas oleh Pemerintah Aceh,” kata anggota DPRK Aceh Selatan, Teuku Mudasir, Senin (13/5).
Menurut Mudasir, berdasarkan data sementara, banjir yang merendam desa-desa dalam 11 kecamatan di Aceh Selatan menyebabkan 10.048 KK (41.429 jiwa) menjadi korban. Sebanyak 87 rumah dan 15 sekolah rusak. Jembatan yang hancur mencapai 13 unit, sawah yang rusak seluas 4.500 hektare, 3.000 hektare kebun, dan ratusan hektare kolam ikan.
Menurut Mudasir, berdasarkan data sementara, banjir yang merendam desa-desa dalam 11 kecamatan di Aceh Selatan menyebabkan 10.048 KK (41.429 jiwa) menjadi korban. Sebanyak 87 rumah dan 15 sekolah rusak. Jembatan yang hancur mencapai 13 unit, sawah yang rusak seluas 4.500 hektare, 3.000 hektare kebun, dan ratusan hektare kolam ikan.
“Banjir kali ini memunculkan kerusakan yang sangat besar dan meluas,” ujar Teuku Mudasir dibenarkan Kabag Humas dan Protokoler Setdakab Aceh Selatan, T Muhassibi SSos MSi.(tz/de)