BANDA ACEH - Meskipun telah dimasukkan dalam lembaran daerah Aceh, namun Qanun Aceh No. 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe (LWN) saat ini belum sah dan tidak boleh diberlakukan, karena belum adanya persetujuan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Pemberlakuan qanun atau perda tersebut setelah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan ditandatangani Gubernur Aceh Zaini Abdullah pada 19 November 2012, dengan adanya alokasi dana APBA 2013 yang jumlahnya cukup besar, dinilai terlalu dipaksakan demi kepentingan kelompok tertentu.
"Saya kira, Pemerintah Aceh saat ini baik gubernur maupun DPRA jangan terlalu memaksakan diri untuk langsung memberlakukan Qanun Wali Nanggroe, jika tidak adanya persetujuan dari Mendagri, karena itu telah melanggar aturan yang ada," kata Koordinator Solidaritas untuk Anti Korupsi (SuAK) Aceh, Teuku Neta Firdaus, kepada wartawan, Jumat (15/2).
Pernyataan itu disampaikannya menyusul adanya anggapan dari kalangan anggota DPRA yang berpendapat bahwa Qanun Wali Nanggroe sudah bisa diterapkan saat ini serta dijalankan tanpa harus ada persetujuan dari Mendagri.
Neta menyebutkan, Qanun Wali Nanggroe sekarang ini terus-menerus menuai kontroversi, dan mengandung banyak sensasi. Jika LWN tetap dijalankan sebelum ada klarifikasi dari Kemendagri berarti itu dianggap qanun "otoriter", karena klarifikasi Qanun LWN ke Mendagri itu merupakan suatu keharusan.
"Kondisi Qanun LWN itu tidak dalam keadaan terdesak untuk diberlakukan, jadi tidak perlu dipaksa juga. Jangan kita dianggap kurang waras karena terlalu ambisius," tegasnya.
Tidak Bisa Dijalankan
Ditambahkan, Qanun LWN tidak bisa dijalankan sebelum ada kata sepakat atau pengkajian ulang produk legislasi daerah dalam rambu-rambu hukum tata negara yang berlaku di Indonesia. Qanun LWN juga masih kontra-struktur yang berpotensi tumpang-tindih dengan tugas-tugas Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) yang telah ada.
"Jika dipaksakan juga tentu akan berdampak pada pemborosan anggaran belanja daerah, pos-pos anggaran tersebut akan terindikasi fiktif, karena dalam satu kegiatan ada dua pos anggaran, ini akan berdampak inefesiensi pembangunan dan akan menabrak banyak aturan," jelasnya.
Aturan yang ditabrak itu karena bertentangan dengan pasal 136-146 dan pasal 194 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum di bidang Keuangan, Pajak atau retribusi.
Ditambahkan, seharusnya DPRA tidak menggunakan "kacamata-kuda" dalam melihat tata cara memproduksi aturan dan perundang-undangan, yang disebutkan bahwa setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferior).
sumber:analisadaily
"Saya kira, Pemerintah Aceh saat ini baik gubernur maupun DPRA jangan terlalu memaksakan diri untuk langsung memberlakukan Qanun Wali Nanggroe, jika tidak adanya persetujuan dari Mendagri, karena itu telah melanggar aturan yang ada," kata Koordinator Solidaritas untuk Anti Korupsi (SuAK) Aceh, Teuku Neta Firdaus, kepada wartawan, Jumat (15/2).
Pernyataan itu disampaikannya menyusul adanya anggapan dari kalangan anggota DPRA yang berpendapat bahwa Qanun Wali Nanggroe sudah bisa diterapkan saat ini serta dijalankan tanpa harus ada persetujuan dari Mendagri.
Neta menyebutkan, Qanun Wali Nanggroe sekarang ini terus-menerus menuai kontroversi, dan mengandung banyak sensasi. Jika LWN tetap dijalankan sebelum ada klarifikasi dari Kemendagri berarti itu dianggap qanun "otoriter", karena klarifikasi Qanun LWN ke Mendagri itu merupakan suatu keharusan.
"Kondisi Qanun LWN itu tidak dalam keadaan terdesak untuk diberlakukan, jadi tidak perlu dipaksa juga. Jangan kita dianggap kurang waras karena terlalu ambisius," tegasnya.
Tidak Bisa Dijalankan
Ditambahkan, Qanun LWN tidak bisa dijalankan sebelum ada kata sepakat atau pengkajian ulang produk legislasi daerah dalam rambu-rambu hukum tata negara yang berlaku di Indonesia. Qanun LWN juga masih kontra-struktur yang berpotensi tumpang-tindih dengan tugas-tugas Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) yang telah ada.
"Jika dipaksakan juga tentu akan berdampak pada pemborosan anggaran belanja daerah, pos-pos anggaran tersebut akan terindikasi fiktif, karena dalam satu kegiatan ada dua pos anggaran, ini akan berdampak inefesiensi pembangunan dan akan menabrak banyak aturan," jelasnya.
Aturan yang ditabrak itu karena bertentangan dengan pasal 136-146 dan pasal 194 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum di bidang Keuangan, Pajak atau retribusi.
Ditambahkan, seharusnya DPRA tidak menggunakan "kacamata-kuda" dalam melihat tata cara memproduksi aturan dan perundang-undangan, yang disebutkan bahwa setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferior).
sumber:analisadaily