Keterlibatan masyararat adat harus diutamakan.
TAPAKTUAN – Masyarakat Adat pantai barat-selatan Aceh mendesak adanya keterbukaan informasi pengelolaan sumberdaya alam dan mengharapkan dinas teknis harus lebih transparan dalam penggunaan anggaran pengelolaan hutan.
Selain itu masyarakat adat dari wilayah pantai barat selatan juga mendesak pemerintah pusat untuk segera mengesahkan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat serta Peraturan pemerintah (PP) tentang hak masyarakat adat dalam pengolaan hutan secara adat.
“Apakah hak masyarakat adat dapat dikembalikan dan bagai mana caranya tanah masyarakat dikembalikan tanpa ada keributan nantinya serta jangan ada dusta antara kita (keterbukaan-RED),” sebut salah seorang peserta Sosialisasi Zona Integritas Bebas Korupsi dan Mekanisme FPIC Dalam Implementasi REDD+ di Aceh yang digelar di Metro Hotel, Tapaktuan, Aceh Selatan, Minggu (24/3/2013)
Ada banyak poin yang mengemuka dalam pertemuan tersebut, diantaranya; Masyarakat adat sangat membutuhkan penguatan pakta integritas dalam upaya pemberantasan korupsi sektor pengelolaan hutan. Selain mencegah praktek korupsi sektor pengelolaan hutan dalam hal pemberian izin dan sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam pengawasan hutan.
Pemberirian izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pengusaha perkebunan dan pertambangan dinilai sangat merugikan masyarakat pingir kawasan hutan. Ada banyak ancaman yang akan timbul sebagai dampaknya.
Mendesak pemerintah untuk memberlakukkan konsep plasma guna mengantasi krisis lahan di daerah, serta mendesak pemilik hak Guna Usaha (HGU) perkebunan agar membuat plasma guna menyelesaikan konflik lahan.
Para peserta Sosialisasi Zona Integritas Bebas Korupsi dan Mekanisme FPIC Dalam Implementasi REDD+ di Aceh adalah perwakilan mukim 3 Kabupaten, CSO lokal dan perwakilan beberapa elemen pemerintah daerah dari Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Subusalam,
Kegiatan ini di selenggarakan oleh Transparency International Indonesia Unit Aceh bekerja sama dengan JKMA (Jaringan Komunitas Masyarkat Adat) Aceh dan Program SIAP II (Strengthening Integrity and Accountability Program II) serta beberapa CSO lokal Kabupaten Aceh Selatan.(Atjehlink)
Selain itu masyarakat adat dari wilayah pantai barat selatan juga mendesak pemerintah pusat untuk segera mengesahkan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat serta Peraturan pemerintah (PP) tentang hak masyarakat adat dalam pengolaan hutan secara adat.
“Apakah hak masyarakat adat dapat dikembalikan dan bagai mana caranya tanah masyarakat dikembalikan tanpa ada keributan nantinya serta jangan ada dusta antara kita (keterbukaan-RED),” sebut salah seorang peserta Sosialisasi Zona Integritas Bebas Korupsi dan Mekanisme FPIC Dalam Implementasi REDD+ di Aceh yang digelar di Metro Hotel, Tapaktuan, Aceh Selatan, Minggu (24/3/2013)
Ada banyak poin yang mengemuka dalam pertemuan tersebut, diantaranya; Masyarakat adat sangat membutuhkan penguatan pakta integritas dalam upaya pemberantasan korupsi sektor pengelolaan hutan. Selain mencegah praktek korupsi sektor pengelolaan hutan dalam hal pemberian izin dan sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam pengawasan hutan.
Pemberirian izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pengusaha perkebunan dan pertambangan dinilai sangat merugikan masyarakat pingir kawasan hutan. Ada banyak ancaman yang akan timbul sebagai dampaknya.
Mendesak pemerintah untuk memberlakukkan konsep plasma guna mengantasi krisis lahan di daerah, serta mendesak pemilik hak Guna Usaha (HGU) perkebunan agar membuat plasma guna menyelesaikan konflik lahan.
Para peserta Sosialisasi Zona Integritas Bebas Korupsi dan Mekanisme FPIC Dalam Implementasi REDD+ di Aceh adalah perwakilan mukim 3 Kabupaten, CSO lokal dan perwakilan beberapa elemen pemerintah daerah dari Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Subusalam,
Kegiatan ini di selenggarakan oleh Transparency International Indonesia Unit Aceh bekerja sama dengan JKMA (Jaringan Komunitas Masyarkat Adat) Aceh dan Program SIAP II (Strengthening Integrity and Accountability Program II) serta beberapa CSO lokal Kabupaten Aceh Selatan.(Atjehlink)