BANDA ACEH - Peraturan penyelenggaraan kampus yang selama ini yang diterapkan di kampus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh atau lazim disebut Statuta IAIN ternyata bertentangan dengan peraturan-peraturan lain yang tingkatannya lebih tinggi dalam konstitusi RI.
Dua prinsip utama yang bertentangan adalah, pemilihan rektor dilakukan oleh perwakilan dosen (anggota senat) dan kedua jabatan eksekutif (rektor/dekan) dan legislatif dirangkap oleh orang yang sama. Hal itu terungkap dalam diskusi "Bedah Statuta IAIN Ar-Raniry" yang berlangsung di Kantor Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) di kawasan Kampung Mulia Banda Aceh, Sabtu (2/3/).
Hadir dalam diskusi yang dipandu Safaruddin SH (Direktur Eksekutif YARA), sejumlah dosen dari IAIN Ar-Raniry seperti Fuad Mardhatillah, Khatib A.Latif, alumni IAIN Ar-Raniry serta beberapa aktivis demokrasi dan pemerhati politik. Safaruddin mengatakan, bedah statuta IAIN itu tak bermaksud apa-apa seperti hendak menjatuhkan orang tertentu dan sebagainya.
"Saya tak punya kepentingan apa pun dalam mereview dan bedah statuta IAIN ini. Tujuannya hanya satu, agar kampus terutama IAIN Ar-Raniry dan juga Unsyiah yang merupakan jantung hati masyarakat Aceh, dapat menjadi pelopor dan motor demokrasi untuk Indonesia," ujar Safaruddin dalam pengantar diskusi. Akademisi IAIN Ar-Raniry, Fuad Mardhatillah menyebutkan, esensi kekeliruan dari statuta tersebut adalah dua hal yaitu pemilihan rektor secara tertutup dan rangkap jabatan.
"Rektor sekaligus menjadi ketua senat. Ini sangat bermasalah dalam perspektif demokrasi. Mestinya kedua lembaga (eksekutif dan legislatif) dipisahkan karena fungsi dua jabatan itu berbeda. Rektor mestinya mempertanggungjawabkan kinerjanya ke senat. Namun bagaimana pertanggungjawaban ini dapat dilakukan jika ketua senat dirangkap rektor?," tanya Fuad.
Sementara Khatib A Latif menyebutkan, pemilihan rektor oleh rapat senat tertutup memiliki banyak kelemahan karena melanggar prinsip-prinsip keterbukaan, mengabaikan hak-hak orang lain dan tidak mendorong orang untuk berpartisipasi dengan baik. "Kita ingin pemilihan rektor dibangun atas dasar consensus oriented dan berkeadilan," jelas Khatib.
Keliru
Baik Khatib maupun Fuad mengaku, pihaknya sudah pernah menyampaikan permasalahan ini pada Rektor IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Farid Wajdi beberapa waktu lalu. "Dalam pertemuan dengan rektor saya katakan bahwa keliru jika akan muncul konflik dan kubu-kubu menjadi alasan pengabaian pemilihan rektor secara langsung. Mengapa? Karena, pemilihan-pemilihan yang lalu memang dari awalnya sudah salah. Mereka memilih orang untuk kepentingannya, bukan untuk membangun lembaga menjadi lebih baik," ungkap Khatib.
Menyikapi adanya pertentangan antara Statuta IAIN dengan konstitusi lain yang kedudukannya lebih tinggi, maka YARA akan mencoba menempuh beberapa langkah kongkrit sehingga penegakan demokrasi di kampus dapat terlaksana.
YARA akan segera menyurati Menteri Agama RI untuk mereview Statuta IAIN. Bahkan kemungkinan kami akan mengajukan judicial review atas statuta ini agar terwujud demokrasi di seluruh kampus di Indonesia.
"Kampus harus menjadi contoh yang baik dalam menjalankan demokrasi. Di luar kampus sana, institusi kepresidenan, gubernur dan bupati berdiri terpisah dari institusi DPR. Masa di kampus dilakukan penggabungan.
Ini kan aneh. Dalam hal ini, Aceh khususnya IAIN, harus didorong agar menjadi penggerak reformasi demokrasi kampus," tegas Safaruddin yang juga Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) Indonesia Wilayah Aceh. (mhd/ANL)
Hadir dalam diskusi yang dipandu Safaruddin SH (Direktur Eksekutif YARA), sejumlah dosen dari IAIN Ar-Raniry seperti Fuad Mardhatillah, Khatib A.Latif, alumni IAIN Ar-Raniry serta beberapa aktivis demokrasi dan pemerhati politik. Safaruddin mengatakan, bedah statuta IAIN itu tak bermaksud apa-apa seperti hendak menjatuhkan orang tertentu dan sebagainya.
"Saya tak punya kepentingan apa pun dalam mereview dan bedah statuta IAIN ini. Tujuannya hanya satu, agar kampus terutama IAIN Ar-Raniry dan juga Unsyiah yang merupakan jantung hati masyarakat Aceh, dapat menjadi pelopor dan motor demokrasi untuk Indonesia," ujar Safaruddin dalam pengantar diskusi. Akademisi IAIN Ar-Raniry, Fuad Mardhatillah menyebutkan, esensi kekeliruan dari statuta tersebut adalah dua hal yaitu pemilihan rektor secara tertutup dan rangkap jabatan.
"Rektor sekaligus menjadi ketua senat. Ini sangat bermasalah dalam perspektif demokrasi. Mestinya kedua lembaga (eksekutif dan legislatif) dipisahkan karena fungsi dua jabatan itu berbeda. Rektor mestinya mempertanggungjawabkan kinerjanya ke senat. Namun bagaimana pertanggungjawaban ini dapat dilakukan jika ketua senat dirangkap rektor?," tanya Fuad.
Sementara Khatib A Latif menyebutkan, pemilihan rektor oleh rapat senat tertutup memiliki banyak kelemahan karena melanggar prinsip-prinsip keterbukaan, mengabaikan hak-hak orang lain dan tidak mendorong orang untuk berpartisipasi dengan baik. "Kita ingin pemilihan rektor dibangun atas dasar consensus oriented dan berkeadilan," jelas Khatib.
Keliru
Baik Khatib maupun Fuad mengaku, pihaknya sudah pernah menyampaikan permasalahan ini pada Rektor IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Farid Wajdi beberapa waktu lalu. "Dalam pertemuan dengan rektor saya katakan bahwa keliru jika akan muncul konflik dan kubu-kubu menjadi alasan pengabaian pemilihan rektor secara langsung. Mengapa? Karena, pemilihan-pemilihan yang lalu memang dari awalnya sudah salah. Mereka memilih orang untuk kepentingannya, bukan untuk membangun lembaga menjadi lebih baik," ungkap Khatib.
Menyikapi adanya pertentangan antara Statuta IAIN dengan konstitusi lain yang kedudukannya lebih tinggi, maka YARA akan mencoba menempuh beberapa langkah kongkrit sehingga penegakan demokrasi di kampus dapat terlaksana.
YARA akan segera menyurati Menteri Agama RI untuk mereview Statuta IAIN. Bahkan kemungkinan kami akan mengajukan judicial review atas statuta ini agar terwujud demokrasi di seluruh kampus di Indonesia.
"Kampus harus menjadi contoh yang baik dalam menjalankan demokrasi. Di luar kampus sana, institusi kepresidenan, gubernur dan bupati berdiri terpisah dari institusi DPR. Masa di kampus dilakukan penggabungan.
Ini kan aneh. Dalam hal ini, Aceh khususnya IAIN, harus didorong agar menjadi penggerak reformasi demokrasi kampus," tegas Safaruddin yang juga Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) Indonesia Wilayah Aceh. (mhd/ANL)