BANDA ACEH - Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) menilai lembaga wali nanggroe (LWN) sebelum disahkan Mendagri, maka bersifat masih ilegal. Jika tetap disahkan di luar mandat UU-PA dan MoU akan memicu disintegrasi kesukuan yang berada di Aceh dan tentunya akan mengarah kepada pemisahan wilayah.
Plh ACSTF, Aryos Nivada mengungkapkan, apalagi sudah dialokasikan anggaran begitu besar, seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat Aceh, terutama untuk korban konflik dalam hal pemberdayaan ekonomi di sektor riil, termasuk pengembangan inprastrutur desa yang belum maksimal dilakukan.
Kalau pun dibentuk harus merujuk dan sesuai dengan mandat UU-PA serta MoU Helsinki. Dalam MoU syarat utama yang harus dilakukan transparansi dan partisipasi dari seluruh kesukuan yang berada di Aceh, sehingga membuahkan hasil produk milik seluruh orang Aceh tanpa terkecuali.
Menurut Aryos, seharusnya kehadiran Wali Nanggroe untuk membangun peradaban Aceh kembali dalam konteks menjaga perdamaian Aceh, paska konflik dan tsunami. Peradaban yang menyatuhkan kesukuan, pelestarian adat istiadat termasuk kesenian di dalamnya.
“Membangun semua itu harus berpijak pada rasa saling menghargai, keberagaman dan toleransi terhadap kemajemukan Aceh,” tegas Aryos dalam siaran persnya, Jumat (22/3) di Banda Aceh.
Seharusnya, lanjut pengamat Politik dan Keamanan Aceh ini, kemajemukan Aceh mampu di kelola oleh kehadiran wali nanggroe bukan malahan sebalik menghancurkan kemajemukan itu sendiri. Kemajemukan di Aceh harus menjadi politik identitas yang mampu dikuatkan dengan terbentuknya institusi wali nanggroe.
“Sekarang yang dibutuhkan adalah terbukaan komunikasi dan hubungan dengan seluruh masyarakat yang menolak institusi wali nanggroe. Sekali lagi syarat utama transparansi dan partisipasi menjadi kunci penerimaan kehadiran Wali Nanggroe bagi seluruh masyarakat Aceh,” tandasnya. (irn/ANL)
Plh ACSTF, Aryos Nivada mengungkapkan, apalagi sudah dialokasikan anggaran begitu besar, seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat Aceh, terutama untuk korban konflik dalam hal pemberdayaan ekonomi di sektor riil, termasuk pengembangan inprastrutur desa yang belum maksimal dilakukan.
Kalau pun dibentuk harus merujuk dan sesuai dengan mandat UU-PA serta MoU Helsinki. Dalam MoU syarat utama yang harus dilakukan transparansi dan partisipasi dari seluruh kesukuan yang berada di Aceh, sehingga membuahkan hasil produk milik seluruh orang Aceh tanpa terkecuali.
Menurut Aryos, seharusnya kehadiran Wali Nanggroe untuk membangun peradaban Aceh kembali dalam konteks menjaga perdamaian Aceh, paska konflik dan tsunami. Peradaban yang menyatuhkan kesukuan, pelestarian adat istiadat termasuk kesenian di dalamnya.
“Membangun semua itu harus berpijak pada rasa saling menghargai, keberagaman dan toleransi terhadap kemajemukan Aceh,” tegas Aryos dalam siaran persnya, Jumat (22/3) di Banda Aceh.
Seharusnya, lanjut pengamat Politik dan Keamanan Aceh ini, kemajemukan Aceh mampu di kelola oleh kehadiran wali nanggroe bukan malahan sebalik menghancurkan kemajemukan itu sendiri. Kemajemukan di Aceh harus menjadi politik identitas yang mampu dikuatkan dengan terbentuknya institusi wali nanggroe.
“Sekarang yang dibutuhkan adalah terbukaan komunikasi dan hubungan dengan seluruh masyarakat yang menolak institusi wali nanggroe. Sekali lagi syarat utama transparansi dan partisipasi menjadi kunci penerimaan kehadiran Wali Nanggroe bagi seluruh masyarakat Aceh,” tandasnya. (irn/ANL)