Sulistyo - Ketum PGRI |
PENDIDIKAN - Ujian Nasional (UN) tahun 2013 kacau. Di 11 provinsi ditunda total. Belum lagi naskah soal UN yang di sejumlah daerah terpaksa harus difotocopy. Amburadul.
Saat kekacauan UN mulai terjadi, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistyo sudah menyatakan sikap. Bahkan PB PGRI juga menyurati Presiden agar mengevaluasi kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendibud) M Nuh, yang dinilai sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas pelaksanaan UN.
Sulistyo juga mendesak UN dihapuskan saja. Lantas, bagaimana kalau tidak ada UN? Berikut petikan wawancara wartawan JPNN.COM, M Fathra Nazrul Islam dengan Sulistyo, Jumat (19/4) yang berhasil KluetMedia kutip dari sumbernya.
Pelaksanaan UN SMA masih terus bergulir. Bahkan mencetak rekor penundaan dan waktu terlama dalam sejarah pelaksanaannya. Bagaimana tanggapan Anda?
Kan memang UN terjelek. Terjelek di dunia. Bukan hanya UN terjelek di Indonesia, tapi di dunia.
Jauh-jauh hari Mendikbud sudah mengklaim bahwa UN sebagai agenda rutin tahunan sudah dipersiapkan dengan baik dan akan siap pada waktunya. Tapi faktanya berantakan. Apa Bapak melihat ini sebagai buruknya manajemen perencanaan di Kemdikbud?
Saya tidak tahu persis penyebabnya. Makanya perlu di investigasi. Agar objektif, PGRI kirim surat pada Presiden. Agar Presiden menginvestigasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab, kalau yang menginvestigasi menteri, jangan-jangan meterinya yang salah kan.
Kita kan belum tahu. Jadi sebaiknya yang menginvestigasi Presiden. Terutama menginvestigasi pembantu-pembantu menteri itu. Kalau sudah tahu yang bersalah bukan menteri, barulah diinvestigasi pejabat-pejabatnya.
Mudah-mudahan sih tidak ada yang salah. Yang salah jangan-jangan dari luar. Kementerian keuangan misalnya, atau DPR yang yang membahas anggaran, misalnya loh ya. Saya kan belum tahu. Tetapi dari luar memang kelihatan sekali kalau memang manajemen kementerian yang tidak pas. Kalau tahu waktunya mepet harusnya kan diundur semua.
Menteri sudah minta maaf, dan menyatakan bertanggung jawab dengan mengambil alih sementara pelaksanaan UN. Kemudian belakangan menteri tiba-tiba menyalahkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dan Balitbang (Badan penelitian dan pengembangan) selaku pelaksana. Bagaimana Anda melihatnya?
Saya tidak tahu persis. Sekali lagi, karena PGRI itu sudah jarang diajak diskusi. Kami sebenarnya sudah mengingatkan sejak lama agar menteri juga mau dengar dari banyak pihak. Bukan hanya kebijakan UN, kebijakan kurikulum, kebijakan anggaran, sebaiknya mendengar dari pihak lain.
Jadi saya kira ini preseden yang tidak baik. Mungkin anda ingat dulu PGRI juga pernah demo tahun 2010, itu karena kebijakannya tidak baik awal-awal berkuasa, sehingga terpaksa PGRI mendemo.
Anda pernah bilang inilah saatnya UN dihapus. Apakah memang harus dihapuskan UN ini?
Oh, diganti yang lebih tepat.
Seperti apa solusi PGRI untuk pengganti UN?
Yang mampu menilai proses pendidikan. Yang menghargai proses, jangan hanya akhir. Yang bisa menilai murid secara komprehensif, tidak hanya kognitif.
Menteri punya kebijakan mulai tahun ini hasil UN digunakan sebagai penilaian masuk SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Ini kan hanya sekitar 170 ribuan kuotanya. Bagaimana dengan jutaan peserta didik lain yang juga ikut UN, apa ini fair bagi mereka?
PGRI sudah keberatan dari dulu. Karena ujian nasional menilai pada saat murid bersekolah. Kalau SNMPTN itu, menyeleksi agar anak cocok bisa menyelesaikan program tepat waktu. Misalnya kalau anak memilih program kedokteran, berbeda seleksinya dengan orang yang akan masuk IKIP. Orang yang mau masuk teknologi ya berbeda dengan orang yang mau masuk sarjana hukum.
Kalau alat seleksinya menyeleksi proses pendidikan sebelumnya, itu evaluasi yang sebenarnya bukan untuk memprediksi dia itu bisa kemana. Apalagi UN yang sekarang, kemarin ya kami resmi meminta dibatalkan keinginan itu.
Kalau UN-nya sudah berantakan seperti ini bagaimana ke depan nasib peserta didik?
Batalkan. Kebijakan ingin menjadikan hasil UN sebagai pertimbangan diterima di perguruan tinggi, batalkan.
Nah kalau penilaian hasil UN yang sudah kacau balau ini sendiri bagaimana?
Ya untuk apa. Sejak dulu kan ndak jelas. Kalau tahun lalu saya tanya, kalau nilai rata-ratanya 99,5 apa itu artinya pendidikan di indonesia sudah sempurna. Kan nilai itu ternyata tidak menggambarkan kondisi riil mutu pendidikan.
Di daerah tertentu lulusnya seratus persen. Apa berarti di daerah itu pendidikan sudah seratus persen hebatnya. Jadi ujian nasional sudah lama kalau tidak mampu menggambarkan prestasi peserta didik yang sesungguhnya.
Berarti UN yang sudah berjalan saat ini, ya sudah dihentikan saja atau bagaimana bagusnya?. Karena kan sudah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit?
O kalau ini mah terserah menteri semuanya. Nanti kalau saya ngomong dihentikan, saya diadukan ke pengadilan, hehe. Kalau sekarang ya terserah menteri, yang tahu kalau UN itu betul-betul sudah bermanfaat.
Tapi Menteri masih ngotot UN tetap dijalankan?
Ya iyalah, anak-anak sudah terlanjur belajar kok. PGRI juga sudah memberi instruksi perintah harian pada guru agar membantu menjaga UN bisa berjalan. Menjaga tidak ada kecurangan, menjaga agar murid-murid tidak tertipu dengan kunci jawaban paslu, soal palsu, yang katanya bocor. Itu contoh bahwa kami itu di samping mengkritisi juga membantu. Tapi bagaimana membantu kalau soalnya ndak ada.
Jadi untuk UN sekarang yang sedang berjalan bagaimana endingnya?
Kalau ini mah gagal. Sebagai alat evalusasi sudah sulit. Bagaimana gak bocor soal yang sama sudah dikerjakan dalam waktu yang berbeda-beda. Untuk yang Indonesia Tengah mislanya, kalau timur dengan tengah katanya soal lain. Tapi kalau sama-sama tengah waktunya sudah berbeda seperti ini bagaimana.
Jadi UN tahun ini sudah bisa divonis gagal?
Iyalah, kalau mau mengakui, UN ini gagal, hehe..
(jpnn)